Thursday, July 4, 2013

Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Bimbingan dan Konseling di Sekolah

Oleh Akhmad Sudrajat, M.Pd.



A.     Pengertian Bimbingan dan Konseling
Bimbingan merupakan terjemahan dari guidance yang didalamnya terkandung beberapa makna. Sertzer & Stone  (1966) menemukakan bahwa guidanceberasal kata guide yang mempunyai arti to direct, pilot, manager, or steer (menunjukkan, menentukan, mengatur, atau mengemudikan). Sedangkan menurut W.S. Winkel (1981) mengemukakan bahwa guidance  mempunyai hubungan dengan guiding : “ showing a way” (menunjukkan jalan), leading (memimpin), conducting (menuntun), giving instructions(memberikan petunjuk), regulating (mengatur), governing(mengarahkan) dan giving advice (memberikan nasehat).

Penggunaan istilah bimbingan seperti dikemukakan  di atas tampaknya proses bimbingan lebih  menekankan kepada peranan pihak pembimbing. Hal ini tentu saja tidak sesuai lagi dengan arah  perkembangan dewasa ini, dimana pada saat ini klien lah yang  justru dianggap lebih memiliki peranan penting dan aktif dalam proses pengambilan keputusan  serta bertanggungjawab sepenuhnya terhadap keputusan yang diambilnya.
Untuk memahami lebih jauh tentang pengertian bimbingan, di bawah ini dikemukakan pendapat dari beberapa ahli :
  • Miller (I. Djumhur dan Moh. Surya, 1975) mengartikan bimbingan sebagai proses bantuan terhadap individu untuk mencapai pemahaman diri yang dibutuhkan untuk melakukan penyesuaian diri secara maksimum di sekolah, keluarga dan masyarakat.
  • Peters dan Shertzer (Sofyan S. Willis, 2004) mendefiniskan bimbingan sebagai : the process  of helping the individual to understand himself and his world so that he can   utilize his potentialities.
  • United States Office of Education (Arifin, 2003) memberikan rumusan bimbingan sebagai kegiatan yang terorganisir untuk memberikan bantuan secara sistematis kepada peserta didik dalam membuat penyesuaian diri terhadap berbagai  bentuk problema yang dihadapinya, misalnya problema kependidikan, jabatan, kesehatan, sosial dan pribadi. Dalam pelaksanaannya, bimbingan harus mengarahkan kegiatannya agar peserta didik mengetahui tentang diri pribadinya sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
  • Jones et.al. (Sofyan S. Willis, 2004) mengemukakan : “guidance is  the help given by one person to another in making choice and adjusment and in solving problem.
  • I. Djumhur dan Moh. Surya, (1975)  berpendapat bahwa bimbingan adalah suatu proses pemberian bantuan yang terus menerus dan sistematis kepada individu dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, agar tercapai kemampuan untuk dapat memahami dirinya  (self understanding), kemampuan untuk menerima dirinya (self acceptance), kemampuan untuk mengarahkan dirinya (self direction) dan kemampuan untuk merealisasikan dirinya (self realization) sesuai dengan potensi atau kemampuannya dalam mencapai penyesuaian diri dengan lingkungan, baik keluarga, sekolah dan masyarakat.
  • Dalam Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah dikemukakan bahwa “Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada peserta didik dalam rangka menemukan pribadi, mengenal lingkungan, dan merencanakan masa depan”.
  • Prayitno, dkk. (2003) mengemukakan bahwa bimbingan dan konseling  adalah pelayanan bantuan untuk peserta didik, baik secara perorangan maupun kelompok agar mandiri dan berkembang secara optimal, dalam bimbingan pribadi, bimbingan sosial, bimbingan belajar, dan bimbingan karier, melalui berbagai jenis layanan dan kegiatan pendukung, berdasarkan norma-norma yang berlaku.
Dari beberapa pendapat di atas, tampaknya para ahli masih beragam dalam memberikan pengertian bimbingan, kendati demikian kita dapat melihat adanya benang merah, bahwa :
  • Bimbingan merupakan  upaya untuk memberikan bantuan kepada  individu atau peserta didik.. Bantuan dimaksud adalah bantuan yang bersifat psikologis.
  • Tercapainya penyesuaian diri, perkembangan optimal dan kemandirian  merupakan tujuan yang ingin dicapai dari bimbingan.
Dari pendapat Prayitno, dkk. yang memberikan pengertian bimbingan disatukan dengan konseling merupakan pengertian formal dan menggambarkan penyelenggaraan bimbingan dan konseling yang saat ini diterapkan  dalam sistem pendidikan nasional.
Keberadaan layanan bimbingan dan konseling dalam sistem pendidikan di Indonesia dijalani melalui proses yang panjang, sejak kurang lebih 40 tahun yang lalu. Selama perjalanannya   telah mengalami beberapa kali pergantian istilah, semula disebut Bimbingan dan Penyuluhan (dalam Kurikulum 84 dan sebelumnya), kemudian pada Kurikulum 1994 dan Kurikulum 2004 berganti nama menjadi Bimbingan dan Konseling. Akhir-akhir ini para ahli mulai meluncurkan sebutan Profesi Konseling,  meski secara formal istilah  ini belum digunakan.
Untuk kepentingan penulisan ini, penulis akan menggunakan istilah Bimbingan dan Konseling sesuai dengan istilah formal yang saat ini dipergunakan dalam sistem pendidikan nasional.
B.     Orientasi Baru Bimbingan dan Konseling
Pada masa sebelumnya (atau mungkin masa sekarang pun, dalam prakteknya masih ditemukan)  bahwa penyelenggaraan Bimbingan dan Konseling cenderung bersifat klinis-therapeutis atau menggunakan pendekatan kuratif, yakni hanya berupaya menangani para peserta didik yang bermasalah saja. Padahal kenyataan di sekolah jumlah peserta didik  yang bermasalah atau berperilaku menyimpang mungkin hanya satu atau dua orang saja. Dari 100  orang peserta didik paling  banyak 5 hingga 10 (5% – 10%). Selebihnya, peserta didik yang tidak memiliki masalah (90% -95%) kerapkali tidak tersentuh oleh layanan bimbingan dan konseling. Akibatnya, bimbingan dan konseling memiliki citra buruk  dan sering dipersepsi keliru oleh peserta didik, guru bahkan kepala sekolah. Ada anggapan bimbingan dan konseling merupakan “polisi sekolah”, tempat menangkap, merazia, dan menghukum para peserta didik yang melakukan tindakan indisipliner. Anggapan lain yang keliru bahwa bimbingan dan konseling sebagai “keranjang sampah” tempat untuk menampung semua masalah peserta didik,  seperti peserta didik yang bolos,  terlambat SPP, berkelahi, bodoh, menentang guru dan sebagainya. Masalah-masalah kecil seperti itu dapat diantisipasi dan diatasi oleh para guru mata pelajaran atau wali kelas dan tidak perlu diselesaikan oleh guru pembimbing.
Mengingat keadaan seperti itu, kiranya perlu adanya orientasi baru bimbingan dan konseling yang bersifat pengembangan atau developmental  dan pencegahan pendekatan preventif.  Dalam hal ini, Sofyan. S. Willis (2004) mengemukakan   landasan-landasan filosofis dari orientasi baru bimbingan dan konseling, yaitu :
  1. Pedagogis; artinya menciptakan kondisi sekolah yang kondusif bagi perkembangan peserta didik dengan memperhatikan perbedaan individual diantara peserta didik.
  2. Potensial, artinya setiap peserta didik adalah individu yang memiliki potensi untuk dikembangkan, sedangkan kelemahannya secara berangsur-angsur akan diatasinya sendiri.
  3. Humanistik-religius, artinya pendekatan terhadap peserta didik haruslah manusiawi dengan landasan ketuhanan. peserta didik sebagai manusia dianggap sanggup mengembangkan diri dan potensinya.
  4. Profesional, yaitu proses bimbingan dan konseling harus dilakukan secara profesional atas dasar filosofis, teoritis, yang berpengetahuan dan berketerampilan berbagi teknik bimbingan dan konseling.
Dengan adanya orientasi baru ini, bukan berarti upaya-upaya   bimbingan dan konseling yang bersifat klinis ditiadakan, tetapi upaya pemberian layanan bimbingan dan konseling lebih dikedepankan dan diutamakan   yang bersifat pengembangan dan pencegahan. Dengan demikian, kehadiran bimbingan dan konseling di sekolah akan dapat dirasakan manfaatnya oleh seluruh peserta didik, tidak hanya bagi peserta didik yang bermasalah saja.
C.     Fungsi Bimbingan dan Konseling
Dengan orientasi baru Bimbingan dan konseling  terdapat beberapa fungsi yang hendak dipenuhi melalui pelaksanaan kegiatan bimbingan dan konseling. yaitu:
  1. Pemahaman; menghasilkan pemahaman pihak-pihak tertentu untuk pengembangan dan pemacahan masalah peserta didik meliputi : (a) pemahaman diri dan kondisi peserta didik, orang tua, guru pembimbing; (2) lingkungan peserta didik termasuk di dalamnya lingkungan sekolah; dan keluarga peserta didik dan orang tua; lingkungan yang lebih luas, informasi pendidikan, jabatan/pekerjaan, dan sosial budaya/terutama nilai-nilai oleh peserta didik.
  2. Pencegahan; menghasilkan tercegahnya atau terhindarnya peserta didik dari berbagai permasalahan yang timbul dan menghambat proses perkembangannya.
  3. Pengentasan; menghasilkan terentaskannya atau teratasinya berbagai permasalahan yang dialami peserta didik.
  4. Advokasi;  menghasilkan kondisi pembelaaan terhadap pengingkaran atas hak-hak dan/atau kepentingan pendidikan.
  5. Pemeliharaan dan pengembangan; terpelihara  dan terkembangkannya berbagai potensi dan kondisi positif peserta didik dalam rangka perkembangan dirinya secara mantap dan berkelanjutan.
  6. D.     Prinsip-Prinsip Bimbingan dan Konseling :
Sejumlah prinsip mendasari gerak langkah penyelenggaraan kegiatan bimbingan dan konseling. Prinsip-prinsip ini berkaitan dengan tujuan, sasaran layanan, jenis layanan dan kegiatan pendukung, serta berbagai aspek operasionalisasi pelayanan bimbingan dan konseling.  Prinsip-prinsip tersebut adalah :
  1. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan sasaran layanan; (a) melayani semua individu tanpa memandang usia, jenis kelamin, suku, agama dan status sosial; (b) memperhatikan tahapan perkembangan;  (c) perhatian adanya perbedaan individu dalam layanan.
  2. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan permasalahan yang dialami individu; (a) menyangkut pengaruh kondisi mental maupun fisik individu terhadap penyesuaian pengaruh lingkungan, baik di rumah, sekolah dan masyarakat sekitar, (b) timbulnya masalah pada individu oleh karena adanya kesenjangan sosial, ekonomi dan budaya.
  3. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan program pelayanan Bimbingan dan Konseling; (a) bimbingan dan konseling bagian integral dari pendidikan dan pengembangan individu, sehingga program bimbingan dan konseling diselaraskan dengan program pendidikan dan pengembangan diri peserta didik; (b) program bimbingan dan konseling harus fleksibel dan disesuaikan dengan kebutuhan peserta didik maupun lingkungan; (c) program bimbingan dan konseling disusun dengan mempertimbangkan adanya tahap perkembangan individu; (d) program pelayanan bimbingan dan konseling perlu diadakan penilaian hasil layanan.
  4. Prinsip-prinsip yang berkenaan dengan tujuan dan pelaksanaan pelayanan;  (a) diarahkan  untuk pengembangan individu yang akhirnya mampu secara mandiri membimbing diri sendiri; (b) pengambilan keputusan  yang diambil oleh klien hendaknya atas kemauan diri sendiri; (c) permaslahan individu dilayani oleh tenaga ahli/profesional yang relevan dengan permasalahan individu; (d) perlu adanya kerja sama dengan personil sekolah dan orang tua  dan bila perlu dengan  pihak lain yang berkewenangan dengan permasalahan individu; dan (e) proses pelayanan bimbingan dan konseling melibatkan individu yang telah memperoleh hasil pengukuran dan penilaian layanan.
  5. E.     Asas-Asas Bimbingan dan Konseling
Penyelenggaraan layanan dan kegiatan pendukung bimbingan dan konseling selain dimuati oleh fungsi dan didasarkan pada prinsip-prinsip tertentu, juga dituntut untuk memenuhi sejumlah asas bimbingan. Pemenuhan asas-asas bimbingan itu akan memperlancar pelaksanaan dan lebih menjamin keberhasilan layanan/kegiatan, sedangkan pengingkarannya akan dapat menghambat atau bahkan menggagalkan pelaksanaan, serta mengurangi atau mengaburkan hasil layanan/kegiatan  bimbingan dan konseling itu sendiri.
Betapa pentingnya asas-asas bimbingan konseling ini sehingga dikatakan sebagai jiwa dan nafas dari seluruh kehidupan layanan bimbingan dan konseling. Apabila asas-asas ini  tidak dijalankan dengan baik, maka penyelenggaraan bimbingan dan konseling akan berjalan tersendat-sendat  atau bahkan terhenti sama sekali.
Asas- asas  bimbingan dan konseling tersebut adalah :
  1. Asas Kerahasiaan (confidential); yaitu asas  yang menuntut dirahasiakannya segenap data dan keterangan peserta didik  (klien) yang menjadi sasaran layanan, yaitu data atau keterangan yang tidak boleh dan tidak layak diketahui orang lain. Dalam hal ini, guru pembimbing  (konselor) berkewajiban memelihara dan menjaga semua data dan keterangan itu sehingga kerahasiaanya benar-benar terjamin,
  2. Asas Kesukarelaan; yaitu asas yang menghendaki adanya kesukaan dan kerelaan peserta didik (klien) mengikuti/ menjalani layanan/kegiatan yang diperuntukkan baginya. Guru Pembimbing (konselor) berkewajiban membina dan mengembangkan kesukarelaan seperti itu.
  3. Asas Keterbukaan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien)  yang menjadi sasaran layanan/kegiatan bersikap terbuka dan tidak berpura-pura, baik dalam memberikan keterangan tentang dirinya sendiri maupun dalam menerima berbagai informasi dan materi dari luar yang berguna bagi pengembangan dirinya. Guru pembimbing (konselor) berkewajiban mengembangkan keterbukaan peserta didik (klien). Agar peserta didik (klien) mau terbuka, guru  pembimbing (konselor) terlebih dahulu bersikap terbuka dan tidak berpura-pura. Asas keterbukaan ini bertalian erat dengan asas kerahasiaan dan  dan kekarelaan.
  4. Asas Kegiatan; yaitu asas yang menghendaki agar peserta didik (klien) yang menjadi sasaran layanan dapat berpartisipasi aktif di dalam penyelenggaraan/kegiatan bimbingan. Guru Pembimbing (konselor) perlu mendorong dan memotivasi peserta didik untuk dapat aktif dalam setiap layanan/kegiatan  yang diberikan kepadanya.
  5. Asas Kemandirian; yaitu asas yang menunjukkan pada tujuan umum bimbingan dan konseling; yaitu peserta didik (klien) sebagai sasaran layanan/kegiatan  bimbingan dan konseling diharapkan menjadi individu-individu yang mandiri, dengan ciri-ciri mengenal diri sendiri dan lingkungannya, mampu mengambil keputusan, mengarahkan, serta mewujudkan diri sendiri. Guru Pembimbing (konselor)  hendaknya mampu mengarahkan segenap layanan bimbingan dan konseling bagi berkembangnya kemandirian peserta didik.
  6. Asas Kekinian; yaitu asas yang menghendaki agar obyek sasaran layanan bimbingan dan konseling  yakni permasalahan yang dihadapi peserta didik/klien dalam kondisi sekarang. Kondisi masa lampau dan masa depan dilihat sebagai dampak dan memiliki keterkaitan dengan apa yang ada dan diperbuat peserta didik (klien)  pada saat sekarang.
  7. Asas Kedinamisan; yaitu asas yang menghendaki agar isi layanan terhadap sasaran layanan (peserta didik/klien) hendaknya selalu bergerak maju, tidak monoton, dan terus berkembang serta berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan dan tahap perkembangannya dari waktu ke waktu.
  8. Asas Keterpaduan; yaitu asas yang menghendaki agar berbagai layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling, baik yang dilakukan oleh guru pembimbing maupun pihak lain, saling menunjang, harmonis dan terpadukan. Dalam hal ini, kerja sama dan koordinasi  dengan berbagai pihak yang terkait dengan bimbingan dan konseling menjadi amat penting dan harus dilaksanakan sebaik-baiknya.
  9. Asas Kenormatifan; yaitu asas yang menghendaki agar segenap layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling didasarkan pada norma-norma, baik norma agama, hukum, peraturan, adat istiadat, ilmu pengetahuan,  dan kebiasaan – kebiasaan yang berlaku. Bahkan lebih jauh lagi, melalui segenap layanan/kegiatan  bimbingan dan konseling ini harus dapat meningkatkan kemampuan peserta didik (klien) dalam memahami, menghayati dan mengamalkan norma-norma tersebut.
  10. Asas Keahlian; yaitu asas yang menghendaki agar layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling diselnggarakan atas dasar kaidah-kaidah profesional.  Dalam hal ini, para pelaksana layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling lainnya hendaknya tenaga yang benar-benar ahli dalam bimbingan dan konseling. Profesionalitas guru pembimbing (konselor) harus terwujud baik dalam penyelenggaraaan jenis-jenis layanan dan kegiatan bimbingan dan konseling dan   dalam penegakan kode etik bimbingan dan konseling.
  11. Asas Alih Tangan Kasus; yaitu asas yang menghendaki agar pihak-pihak yang tidak mampu menyelenggarakan layanan bimbingan dan konseling secara tepat dan tuntas atas suatu permasalahan peserta didik (klien) kiranya dapat mengalih-tangankan kepada pihak yang lebih ahli. Guru pembimbing (konselor)dapat menerima alih tangan  kasus dari orang tua, guru-guru lain, atau ahli lain. Demikian pula, sebaliknya guru pembimbing (konselor),  dapat mengalih-tangankan kasus kepada pihak yang lebih kompeten, baik yang berada di dalam lembaga sekolah maupun di luar sekolah.
  12. Asas Tut Wuri Handayani; yaitu asas yang menghendaki agar pelayanan bimbingan dan konseling secara keseluruhan dapat menciptakan suasana mengayomi (memberikan rasa aman), mengembangkan keteladanan, dan memberikan rangsangan dan dorongan, serta kesempatan yang seluas-luasnya  kepada peserta didik (klien) untuk maju.
  13. F.      Peranan Kepala Sekolah, Guru Mata Pelajaran dan Wali Kelas dalam Bimbingan dan Konseling
Dalam kurikulum 2004, secara tegas dikemukakan bahwa :  “Sekolah berkewajiban memberikan bimbingan dan konseling kepada siswa yang menyangkut tentang pribadi, sosial, belajar, dan karier”. Dengan adanya kata “kewajiban”, maka setiap sekolah mutlak harus menyelenggarakan bimbingan dan konseling.
Keberhasilan penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah, tidak lepas dari peranan berbagai pihak di sekolah. Selain Guru Pembimbing atau Konselor sebagai pelaksana utama, penyelenggaraan  Bimbingan dan konseling di sekolah, juga perlu melibatkan kepala sekolah , guru mata pelajaran dan wali kelas.
Kepala sekolah selaku penanggung jawab seluruh penyelenggaraan pendidikan di sekolah memegang peranan strategis dalam mengembangkan layanan bimbingan dan konseling di sekolah.  Secara garis besarnya, peran, tugas  dan tanggung jawab kepala sekolah, sebagai berikut :
  1. Mengkoordinir segenap kegiatan yang diprogramkan dan   berlangsung di sekolah, sehingga pelayanan pengajaran, latihan, dan bimbingan dan konseling merupakan suatu kesatuan yang terpadu, harmonis, dan dinamis.
  2. Menyediakan prasarana, tenaga, dan berbagai kemudahan bagi terlaksananya pelayanan bimbingan dan konseling yang efektif dan efisien.
  3. Melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap perencanaan dan pelaksanaan program, penilaian dan upaya tidak lanjut pelayanan bimbingan dan konseling.
  4. Mempertanggungjawabkan pelaksanaan pelayanan bimbingan dan konseling Di sekolah kepada Dinas Pendidikan yang menjadi atasannya.
  5. Menyediakan fasilitas, kesempatan, dan dukungan dalam kegiatan kepengawasan yang dilakukan oleh Pengawas Sekolah Bidang BK.
Sedangkan,  peran, tugas  dan tanggung jawab guru-guru mata pelajaran dalam bimbingan dan konseling adalah :
  1. Membantu memasyarakatkan pelayanan bimbingan dan konseling kepada siswa
  2. Membantu Guru Pembimbing mengidentifikasi siswa-siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling, serta pengumpulan data tentang siswa-siswa tersebut.
  3. Mengalihtangankan siswa yang memerlukan pelayanan bimbingan dan konseling kepada Guru Pembimbing
  4. Menerima siswa alih tangan dari Guru Pembimbing, yaitu siswa yang menuntut Guru Pembimbing memerlukan pelayanan pengajar /latihan khusus (seperti pengajaran/ latihan perbaikan, program pengayaan).
  5. Membantu mengembangkan suasana kelas, hubungan guru-siswa dan hubungan siswa-siswa yang menunjang pelaksanaan pelayanan pembimbingan dan konseling.
  6. Memberikan kesempatan  dan kemudahan kepada siswa yang memerlukan layanan/kegiatan bimbingan dan konseling untuk mengikuti /menjalani layanan/kegiatan yang dimaksudkan itu.
  7. Berpartisipasi dalam kegiatan khusus penanganan masalah siswa, seperti konferensi kasus.
  8. Membantu pengumpulan informasi yang diperlukan dalam rangka penilaian pelayanan bimbingan dan konseling serta upaya tindak lanjutnya.
Sebagai pengelola kelas tertentu dalam pelayanan bimbingan dan konseling, Wali Kelas berperan :
  1. membantu Guru Pembimbing melaksanakan tugas-tugasnya, khususnya di kelas yang menjadi tanggung jawabnya;
  2. membantu Guru Mata Pelajaran melaksanakan peranannya dalam pelayanan bimbingan dan konseling, khususnya dikelas yang menjadi tanggung jawabnya;
  3. membantu memberikan kesempatan dan kemudahan bagi siswa, khususnya dikelas yang menjadi tanggung jawabnya, untuk mengikuti/menjalani layanan dan/atau kegiatan bimbingan  dan konseling;
  4. berpartisipasi aktif dalam kegiatan khusus bimbingan dan konseling, seperti konferensi kasus; dan
  5. mengalihtangankan siswa yang memerlukan layanan bimbingan dan konseling kepada Guru Pembimbing.
Berkenaan peran guru mata pelajaran dan wali kelas dalam bimbingan dan konseling, Sofyan S. Willis (2005) mengemukakan bahwa guru-guru mata pelajaran dalam melakukan pendekatan kepada siswa harus manusiawi-religius, bersahabat, ramah, mendorong, konkret, jujur dan asli, memahami dan menghargai tanpa syarat.
 G.     Kegiatan Layanan dan Pendukung Bimbingan dan Konseling
Kegiatan layanan merupakan kegiatan dalam rangka memenuhi fungsi-fungsi bimbingan dan konseling. Sedangkan kegiatan pendukung merupakan kegiatan untuk menopang terhadap keberhasilan layanan yang diberikan.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan nasional saat ini terdapat tujuh jenis layanan dan lima kegiatan pendukung. Namun sangat mungkin ke depannya akan semakin berkembang, baik dalam jenis layanan  maupun kegiatan pendukung. Para ahli bimbingan di Indonesia saat ini sudah mulai meluncurkan dua jenis layanan baru yaitu layanan konsultasi dan layanan mediasi. Namun, kedua jenis layanan ini belum dijadikan sebagai kebijakan formal dalam sistem pendidikan.
Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan diuraikan tujuh jenis layanan dan lima kegiatan pendukung bimbingan dan konseling yang saat ini diterapkan dalam pendidikan nasional.
1.      Kegiatan Layanan Bimbingan dan Konseling
  1.  
    1. Layanan Orientasi; Layanan orientasi merupakan layanan yang memungkinan peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk mempermudah dan memperlancar berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu, sekurang-kurangnya diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada setiap awal semester. Tujuan layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru secara tepat dan memadai, yang berfungsi  untuk pencegahan dan pemahaman.
    2. Layanan Informasi; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi (seperti : informasi belajar, pergaulan, karier, pendidikan lanjutan). Tujuan  layanan informasi adalah membantu  peserta didik  agar dapat mengambil keputusan secara tepat tentang sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier berdasarkan informasi yang diperolehnya yang memadai. Layanan informasi pun berfungsi  untuk pencegahan dan pemahaman.
    3. Layanan Pembelajaran; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam menguasai materi belajar atau penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan  dan kemampuan dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik.  Layanan pembelajaran berfungsi untuk pengembangan.
    4. Layanan Penempatan dan Penyaluran; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan ko/ekstra kurikuler, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya. Layanan Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan.
    5. Layanan Konseling Perorangan; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan dirinya. Tujuan  layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya. Layanan Konseling Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
    6. Layanan Bimbingan Kelompok; merupakan layanan yang memungkinan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui  dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui  dinamika kelompok. Layanan Bimbingan Kelompok berfungsi untuk pemahaman dan pengembangan
    7. Layanan Konseling Kelompok; merupakan layanan yang memungkinan peserta didik (masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok. Layanan Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
    8. 2.      Kegiatan Pendukung Bimbingan dan Konseling
Untuk menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah dikemukakan di atas, kiranya perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung Dalam hal ini,  terdapat  lima  jenis kegiatan pendukung bimbingan dan konseling,  yaitu :
  1. Aplikasi Instrumentasi Data; merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang peserta didik, tentang lingkungan peserta didik dan lingkungan lainnya, yang dapat dilakukan  dengan menggunakan berbagai instrumen, baik tes maupun non tes, dengan tujuan untuk memahami peserta didik dengan segala  karakteristiknya dan memahami karakteristik lingkungan.
  2. Himpunan Data; merupakan kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik. Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematik, komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup.
  3. Konferensi Kasus; merupakan kegiatan untuk  membahas permasalahan peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen  dari pihak  yang terkait dan memiliki pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka pengentasan permasalahan klien.
  4. Kunjungan Rumah; merupakan kegiatan untuk  memperoleh data, keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama dengan orang tua sangat diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak  orang tua/keluarga untuk mengentaskan permasalahan klien.
  5. Alih Tangan Kasus;  merupakan kegiatan untuk  untuk memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dialami klien dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta ahli lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten.
  6. H.    Prosedur Umum Bimbingan dan Konseling
Secara umum, prosedur bimbingan dan konseling dapat  ditempuh melalui langkah-langkah seperti tampak dalam bagan berikut :



  1. Identifikasi kasus; merupakan upaya untuk menemukan peserta didik yang diduga memerlukan layanan bimbingan dan konseling. Robinson  dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi peserta didik yang diduga mebutuhkan layanan bimbingan dan konseling, yakni :
    1. Call them approach; melakukan wawancara dengan memanggil semua peserta didik secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat ditemukan peserta didik yang benar-benar membutuhkan layanan konseling.
    2. Maintain good relationship; menciptakan hubungan yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi  jurang pemisah antara guru pembimbing dengan peserta didik. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
    3. Developing a desire for counseling; menciptakan suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran peserta didik akan masalah yang dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan peserta didik yang bersangkutan tentang hasil dari  suatu tes, seperti  tes inteligensi, tes bakat, dan hasil pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak lanjutnya.
    4. Melakukan analisis terhadap hasil belajar peserta didik, dengan cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang dihadapi peserta didik.
      1. Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat  ditemukan peserta didik yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
      2. Identifikasi Masalah; langkah ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik  kesulitan atau masalah yang dihadapi  peserta didik.  Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan peserta didik dapat berkenaan dengan aspek : (1) substansial – material; (2) struktural – fungsional;   (3) behavioral; dan atau (4) personality. Untuk mengidentifikasi masalah peserta didik, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak masalah peserta didik, dengan apa yang disebut  Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi peserta didik, seputar aspek : (1) jasmani dan kesehatan; (2) diri pribadi; (3) hubungan sosial; (4) ekonomi dan keuangan; (5) karier dan pekerjaan; (6) pendidikan dan pelajaran; (7) agama, nilai dan moral; (8) hubungan muda-mudi; (9) keadaan dan hubungan keluarga; dan (10) waktu senggang.
      3. Diagnosis; upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang melatarbelakangi timbulnya masalah peserta didik. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar peserta didik, bisa dilihat dari segi input, proses, ataupun out put belajarnya.  W.H. Burton membagi ke dalam dua bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan belajar peserta didik, yaitu :  (1) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam diri peserta didik itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan, bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi  psikis lainnya; dan (2) faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
      4. Prognosis; langkah ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami peserta didik masih mungkin untuk diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya,  Hal ini dilakukan dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten untuk diminta bekerja sama  menangani kasus  -  kasus yang  dihadapi.
      5. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus); jika jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau guru pembimbing, pemberian bantuan   bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih kompeten.
      6. Evaluasi dan Follow Up; cara manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan bantuan (treatment) yang telah diberikan   terhadap pemecahan masalah yang dihadapi peserta didik.
Berkenaan dengan evaluasi bimbingan dan konseling, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria keberhasilan layanan bimbingan dan konseling yaitu:
  1. Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh peserta didik berkaitan dengan masalah yang dibahas;
  2. Perasaan positif  sebagai dampak dari proses dan materi yang dibawakan melalui layanan, dan
  3. Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh peserta didik sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu  apabila:
  1. Peserta didik telah menyadari (to be aware of) atas adanya masalah yang dihadapi.
  2. Peserta didik telah memahami (self insight) permasalahan yang dihadapi.
  3. Peserta didik telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
  4. Peserta didik telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress release).
  5. Peserta didik telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
  6. Peserta didik mulai menunjukkan kemampuannya dalam mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan rasional.
  7. Peserta didik telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha –usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya.
  8. I.       Bimbingan terhadap Peserta Didik Bermasalah
Bimbingan terhadap peserta didik bermasalah tetap menjadi perhatian bimbingan dan konseling, namun perlu diingat bahwa tidak semua masalah peserta didik harus ditangani oleh Guru Pembimbing (konselor).  Dalam hal ini, Sofyan S. Willis (2004) mengemukakan tingkatan masalah berserta mekanisme dan petugas yang menanganinya, sebagaimana dalam bagan berikut :



  1. Masalah (kasus) ringan, seperti : membolos, malas, kesulitan belajar pada bidang tertentu, berkelahi dengan teman sekolah, bertengkar, minum minuman keras tahap awal, berpacaran, mencuri kelas ringan. Kasus ringan dibimbing oleh  wali kelas dan  guru dengan berkonsultasi kepada kepala sekolah (konselor/guru pembimbing) dan mengadakan kunjungan rumah.
  2. Masalah (kasus) sedang, seperti : gangguan emosional, berpacaran, dengan perbuatan menyimpang, berkelahi antar sekolah, kesulitan belajar, karena gangguan di keluarga, minum minuman keras tahap pertengahan, mencuri kelas sedang, melakukan gangguan sosial dan asusila. Kasus sedang dibimbing oleh guru pembimbing (konselor), dengan berkonsultasi dengan kepala sekolah, ahli/profesional, polisi, guru dan sebagainya. Dapat pula mengadakan konferensi kasus.
  3. Masalah (kasus) berat, seperti :   gangguan emosional berat, kecanduan alkohol dan narkotika,  pelaku kriminalitas, peserta didik hamil, percobaan bunuh diri, perkelahian dengan senjata tajam atau senjata api.  Kasus berat dilakukan referal (alihtangan kasus) kepada ahli psikologi dan psikiater, dokter, polisi, ahli hukum yang sebelumnya terlebih dahulu  dilakukan kegiatan konferensi kasus.
   J.      Proses Konseling
Dari beberapa jenis layanan Bimbingan dan Konseling yang diberikan kepada peserta didik, tampaknya untuk layanan konseling perorangan perlu mendapat perhatian lebih. Karena layanan yang satu ini boleh dikatakan merupakan ciri khas dari layanan bimbingan dan konseling.
Dalam prakteknya,  memang  strategi layanan bimbingan dan konseling harus terlebih dahulu mengedepankan layanan – layanan yang bersifat pencegahan dan pengembangan, namun tetap saja layanan yang bersifat pengentasan pun masih diperlukan. Oleh karena itu, guru maupun konselor seyogyanya dapat menguasai proses dan berbagai teknik konseling, sehingga bantuan yang diberikan  kepada peserta didik dalam rangka pengentasan masalahnya dapat berjalan secara efektif dan efisien.
Secara umum, proses konseling terdiri dari tiga tahapan yaitu: (1) tahap awal (tahap mendefinisikan masalah); (2) tahap inti (tahap kerja); dan (3) tahap akhir (tahap perubahan dan tindakan).
  1. Tahap Awal
Tahap ini terjadi dimulai sejak klien menemui konselor hingga berjalan sampai konselor dan klien menemukan masalah klien. Pada tahap ini beberapa hal yang perlu dilakukan, diantaranya :
  1. Membangun hubungan konseling yang melibatkan klien (rapport).
Kunci keberhasilan membangun hubungan terletak pada terpenuhinya asas-asas bimbingan dan konseling, terutama asas kerahasiaan, kesukarelaan, keterbukaan; dan kegiatan.
  1. Memperjelas dan mendefinisikan masalah.
Jika hubungan konseling sudah terjalin dengan baik dan klien telah melibatkan diri, maka konselor harus dapat membantu memperjelas masalah klien.
  1. Membuat penaksiran dan perjajagan
Konselor berusaha menjajagi atau menaksir kemungkinan masalah dan merancang bantuan yang mungkin dilakukan, yaitu dengan membangkitkan semua potensi klien, dan menentukan berbagai alternatif yang sesuai bagi antisipasi masalah.
  1. Menegosiasikan kontrak
Membangun perjanjian antara konselor dengan klien, berisi :
1)      Kontrak waktu, yaitu berapa lama waktu pertemuan yang diinginkan oleh klien dan konselor tidak berkebaratan.
2)      Kontrak tugas, yaitu berbagi tugas antara konselor dan klien.
3)      Kontrak kerjasama dalam proses konseling, yaitu terbinanya peran dan tanggung jawab bersama antara konselor dan konseling dalam seluruh rangkaian kegiatan konseling.
  1. Tahap Inti (Tahap Kerja)
Setelah tahap Awal dilaksanakan dengan baik,  proses konseling  selanjutnya  adalah memasuki tahap inti atau tahap kerja. Pada tahap ini terdapat beberapa hal yang harus dilakukan, diantaranya :
  1. Menjelajahi dan mengeksplorasi masalah klien lebih dalam.
Penjelajahan masalah dimaksudkan agar klien mempunyai perspektif dan alternatif baru terhadap masalah yang sedang dialaminya. Konselor melakukan reassessment(penilaian kembali), bersama-sama klien meninjau kembali  permasalahan yang dihadapi klien.
  1. Menjaga agar hubungan konseling tetap terpelihara.
Hal ini bisa terjadi jika :
1)      Klien merasa senang terlibat dalam pembicaraan atau waancara konseling, serta menampakan kebutuhan untuk mengembangkan diri dan memecahkan masalah yang dihadapinya.
2)      Konselor berupaya kreatif mengembangkan teknik-teknik konseling yang bervariasi dan dapat  menunjukkan pribadi yang  jujur, ikhlas dan benar – benar peduli terhadap klien.
  1. Proses konseling agar berjalan sesuai kontrak.
Kesepakatan yang telah dibangun pada saat kontrak tetap dijaga, baik oleh pihak konselor maupun klien.
  1. Tahap Akhir (Tahap Tindakan)
Pada tahap akhir ini terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan, yaitu :
  1. Konselor bersama klien membuat kesimpulan mengenai hasil proses konseling
  2. Menyusun rencana tindakan yang akan dilakukan berdasarkan kesepakatan yang telah terbangun dari  proses konseling sebelumnya.
  3. Mengevaluasi jalannya proses dan hasil konseling (penilaian segera).
  4. Membuat perjanjian untuk pertemuan berikutnya
Pada tahap akhir ditandai beberapa hal, yaitu ;
  1. Menurunnya kecemasan klien
  2. Perubahan perilaku klien ke arah yang lebih positif, sehat dan dinamis.
  3. Pemahaman baru dari klien tentang masalah yang dihadapinya.
  4. Adanya rencana hidup masa yang akan datang dengan program yang jelas.
  K.    Teknik Umum Konseling
Teknik umum konseling merupakan teknik konseling yang lazim digunakan dalam tahapan-tahapan konseling  dan merupakan teknik dasar konseling yang harus dikuasai oleh konselor. Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan disampaikan beberapa jenis teknik umum, diantaranya :
  1. Perilaku Attending; perilaku attending disebut juga perilaku menghampiri klien yang mencakup komponen kontak mata, bahasa tubuh, dan bahasa lisan. Perilaku attending yang baik dapat :
    1. Meningkatkan harga diri klien.
    2. Menciptakan suasana yang aman
    3. Mempermudah ekspresi perasaan klien dengan bebas.
Contoh perilaku attending yang baik :
  1. Kepala : melakukan anggukan jika setuju
  2. Ekspresi wajah : tenang, ceria, senyum
  3. Posisi tubuh : agak condong ke arah klien, jarak antara konselor dengan klien agak dekat, duduk akrab berhadapan atau berdampingan.
  4. Tangan : variasi gerakan tangan/lengan spontan berubah-ubah, menggunakan tangan sebagai isyarat, menggunakan tangan untuk menekankan ucapan.
  5. Mendengarkan : aktif penuh perhatian, menunggu ucapan klien hingga    selesai, diam (menanti saat kesempatan bereaksi), perhatian terarah pada lawan bicara.
Contoh perilaku attending yang tidak baik :
  1. Kepala : kaku
  2. Muka : kaku, ekspresi melamun, mengalihkan pandangan, tidak melihat saat klien sedang bicara, mata melotot.
  3. Posisi tubuh : tegak kaku, bersandar,  miring, jarak duduk dengan klien menjauh, duduk kurang akrab dan berpaling.
  4. Memutuskan pembicaraan, berbicara terus tanpa ada teknik diam untuk memberi kesempatan klien berfikir dan berbicara.
  5. Perhatian : terpecah, mudah buyar oleh gangguan luar.
  6. Empati; empati ialah kemampuan konselor untuk merasakan apa yang dirasakan klien, merasa dan berfikir bersama klien dan bukan untuk atau tentang klien. Empati  dilakukan sejalan dengan perilaku attending, tanpa perilaku attending mustahil terbentuk empati. Terdapat dua macam empati, yaitu :
    1. Empati primer,   yaitu bentuk empati yang hanya berusaha memahami perasaan, pikiran dan keinginan klien, dengan tujuan  agar klien dapat terlibat dan terbuka.
Contoh ungkapan empati primer :
” Saya dapat merasakan bagaimana perasaan Anda”.
” Saya dapat memahami pikiran Anda”.
” Saya mengerti keinginan Anda”.
  1. Empati tingkat tinggi, yaitu  empati apabila kepahaman konselor terhadap perasaan, pikiran keinginan serta pengalaman klien lebih mendalam dan menyentuh klien karena konselor ikut dengan perasaan tersebut. Keikutan konselor tersebut membuat klien tersentuh dan terbuka untuk mengemukakan isi hati yang terdalam, berupa perasaan, pikiran, pengalaman termasuk penderitaannya.
Contoh ungkapan empati tingkat tinggi :
Saya dapat merasakan apa yang Anda rasakan, dan   saya ikut terluka dengan pengalaman  Anda itu”.
  1. Refleksi; refleksi adalah teknik untuk memantulkan kembali kepada klien tentang perasaan, pikiran, dan pengalaman sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbalnya.Terdapat tiga jenis refleksi, yaitu:
    1. Refleksi perasaan, yaitu keterampilan atau teknik untuk dapat memantulkan perasaan klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.
Contoh :
Tampaknya yang Anda katakan adalah ….”
” Barangkali Anda merasa….”
” Hal itu rupanya seperti …(kiasan)”
” Adakah yang Anda maksudkan…”
  1. Refleksi pikiran, yaitu teknik untuk memantulkan ide, pikiran, dan pendapat klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.
Contoh :
” Tampaknya yang Anda katakan…”
” Barangkali  yang  akan Anda utarakan adalah…”
” Adakah yang Anda maksudkan…”
  1. Refleksi pengalaman, yaitu teknik untuk memantulkan pengalaman-pengalaman klien sebagai hasil pengamatan terhadap perilaku verbal dan non verbal klien.
Contoh :
Tampaknya yang Anda katakan suatu…”
” Barangkali  yang  akan Anda utarakan adalah…”
” Adakah yang Anda maksudkan peristiwa…”
  1. Eksplorasi; eksplorasi adalah teknik untuk menggali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Hal ini penting dilakukan karena banyak klien menyimpan rahasia batin, menutup diri, atau tidak mampu mengemukakan pendapatnya. Dengan teknik ini memungkinkan klien untuk bebas berbicara tanpa rasa takut, tertekan dan terancam.
Seperti halnya pada teknik refleksi, terdapat tiga jenis dalam teknik eksplorasi, yaitu :
  1. Eksplorasi perasaan, yaitu teknik untuk dapat menggali  perasaan klien yang tersimpan.
Contoh :
Bisakah Anda menjelaskan apa perasaan bingung  yang dimaksudkan ”
”Saya kira rasa sedih Anda sangat  mendalam.  Dapat Anda kemukakan  lebih lanjut?”
  1. Eksplorasi pikiran, yaitu teknik untuk menggali ide, pikiran, dan pendapat klien.
Contoh :
Saya yakin  Anda dapat menjelaskan lebih lanjut  ide Anda tentang sekolah sambil bekerja”
”Saya kira pendapat Anda mengenai hal itu baik..Dapatkah Anda menguraikannya lebih lanjut ?
  1. Eksplorasi pengalaman, yaitu keterampilan atau teknik untuk menggali pengalaman-pengalaman klien.
Contoh :
Saya terkesan dengan pengalaman yang Anda lalui  Namun saya ingin memahami lebih jauh tentang  pengalaman tersebut dan pengaruhnya terhadap   pendidikan Anda
  1. Menangkap Pesan (Paraphrasing); menangkap pesan (paraphrasing) adalah teknik untuk menyatakan kembali  esensi atau initi ungkapan klien dengan teliti mendengarkan pesan utama klien, mengungkapkan kalimat yang mudah dan sederhana, biasanya ditandai dengan kalimat awal : adakah atau nampaknya, dan mengamati respons klien terhadap konselor.
Tujuan  paraphrasing adalah : (1) untuk mengatakan kembali kepada klien bahwa konselor bersama dia dan berusaha untuk memahami apa yang dikatakan klien; (2) mengendapkan apa yang dikemukakan klien dalam bentuk ringkasan ; (3) memberi arah wawancara konseling; dan (4) pengecekan kembali persepsi konselor tentang apa yang dikemukakan klien.
Contoh dialog :
Klien                  :”Itu suatu pekerjaan yang baik, akan tetapi saya tidak   mengambilnya. Saya tidak tahu  mengapa demikian ? ”
Konselor            : ”Tampaknya Anda masih ragu.”
  1. Pertanyaan Terbuka (Opened Question); pertanyaan terbuka yaitu teknik untuk memancing siswa agar mau berbicara mengungkapkan perasaan, pengalaman dan pemikirannya dapat digunakan teknik pertanyaan terbuka (opened question). Pertanyaan yang diajukan sebaiknya tidak menggunakan kata tanya mengapa atau apa sebabnya. Pertanyaan semacam ini akan menyulitkan klien, jika dia tidak tahu alasan atau sebab-sebabnya. Oleh karenanya, lebih baik gunakan kata tanya apakah, bagaimana, adakah, dapatkah.
Contoh :
Apakah Anda merasa ada sesuatu yang ingin kita   bicarakan ? ”
” Bagaimana perasaan Anda saat ini ?”
” Dapatkah Anda mengemukakan hal itu lebih lanjut ?”
  1. Pertanyaan Tertutup (Closed Question); dalam konseling tidak selamanya harus menggunakan pertanyaan terbuka,  dalam hal-hal tertentu dapat pula digunakan pertanyaan tertutup,  yang   harus dijawab dengan kata Ya  atau Tidak  atau dengan kata-kata singkat. Tujuan pertanyaan tertutup untuk : (1) mengumpulkan informasi; (2) menjernihkan atau memperjelas sesuatu; dan (3)  menghentikan pembicaraan klien yang melantur atau menyimpang jauh.
Contoh dialog :
Klien                  :”Saya berusaha meningkatkan prestasi dengan mengikuti  belajar kelompok yang selama ini belum pernah saya lakukan”.
Konselor           : ”Biasanya  Anda menempati peringkat  berapa ? ”.
Klien                : ”Empat
Konselor           : ”Sekarang  berapa ? ”
Klien                : ”Sebelas
  1. Dorongan minimal (Minimal Encouragement); dorongan minimal adalah teknik untuk memberikan suatu dorongan langsung yang singkat terhadap apa yang telah dikemukakan klien.Misalnya dengan menggunakan ungkapan : oh…, ya…., lalu…, terus….dan
Tujuan dorongan minimal agar klien terus berbicara dan dapat mengarah agar pembicaraan mencapai tujuan. Dorongan ini diberikan pada saat klien akan mengurangi atau menghentikan pembicaraannya dan pada saat klien kurang memusatkan pikirannya pada pembicaraan atau pada saat konselor ragu atas pembicaraan klien.
Contoh dialog :
\           Klien                : ” Saya putus asa… dan saya nyaris… ”
   (klien menghentikan pembicaraan)
Konselor           : ” ya…”
Klien                : ” nekad bunuh diri
Konselor           : ” lalu…”
  1. Interpretasi; yaitu teknik  untuk mengulas pemikiran, perasaan dan pengalaman klien dengan merujuk pada teori-teori, bukan pandangan subyektif konselor, dengan tujuan untuk memberikan rujukan pandangan agar klien mengerti dan berubah melalui pemahaman dari hasil rujukan baru tersebut.
Contoh dialog :
Klien                  :”Saya pikir dengan berhenti sekolah dan memusatkan perhatian membantu orang  tua  merupakan bakti saya pada keluarga, karena adik-adik saya banyak dan amat    membutuhkan biaya.”
Konselor             :”Pendidikan tingkat  SMA pada masa  sekarang adalah mutlak bagi semua warga  negara. Terutama hidup di kota besar     seperti Anda. Karena tantangan masa  depan makin banyak, maka dibutuhkan manusia Indonesia yang berkualitas.  Membantu orang tua memang harus, namun mungkin disayangkan jika orang  seperti Anda yang tergolong akan  meninggalkan SMA”.
  1. Mengarahkan  (Directing); yaitu teknik untuk mengajak dan mengarahkan klien melakukan sesuatu. Misalnya menyuruh klien untuk bermain peran dengan konselor atau menghayalkan sesuatu..
Klien                :”Ayah saya sering marah-marah tanpa   sebab. saya tak dapat lagi menahan diri akhirnya terjadi pertengkaran sengit.”
Konselor           :”Bisakah Anda mencobakan di depan saya, bagaimana sikap dan kata-kata ayah Anda  jika memarahi Anda.”
  1. Menyimpulkan Sementara (Summarizing); yaitu teknik untuk menyimpulkan sementara pembicaraan sehingga arah pembicaraan semakin jelas. Tujuan menyimpulkan sementara adalah untuk : (1) memberikan kesempatan kepada klien untuk mengambil kilas balik dari hal-hal yang telah dibicarakan; (2)  menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan secara bertahap; (3) meningkatkan kualitas diskusi; (4) mempertajam fokus pada wawancara konseling.
Contoh :
Setelah kita berdiskusi beberapa waktu alangkah    baiknya jika simpulkan dulu agar semakin jelas hasil    pembicaraan kita. Dari materi  materi  pembicaraan   yang kita diskusikan, kita sudah sampai  pada dua   hal: pertama,  tekad Anda untuk bekerja sambil kuliah    makin jelas; kedua, namun masih ada hambatan yang  akan  hadapi, yaitu : sikap orang tua Anda yang   menginginkan Anda segera menyelesaikan studi, dan  waktu bekerja yang penuh sebagaimana tuntutan  dari perusahaan yang akan Anda masuki.”
  1. Memimpin (leading); yaitu teknik untuk mengarahkan pembicaraan dalam wawancara konseling sehingga tujuan konseling .
Contoh dialog :
Klien                :”Saya mungkin berfikir juga tentang masalah  hubungan dengan pacar. Tapi bagaimana ya?”
Konselor           :”Sampai ini kepedulian Anda tertuju kuliah kuliah sambil bekerja. Mungkin Anda tinggal merinci kepedulian itu. Mengenai      pacaran apakah termasuk dalam kerangka  kepedulian Anda juga ?”
  1. Fokus; yaitu teknik untuk membantu klien memusatkan perhatian pada pokok pembicaraan. Pada umumnya dalam wawancara konseling, klien akan mengungkapkan sejumlah permasalahan yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, konselor seyogyanya dapat membantu klien agar dia dapat menentukan apa yang fokus  masalah. Misalnya dengan mengatakan :
Apakah tidak sebaiknya jika pokok pembicaraan kita berkisar dulu soal hubungan Anda dengan orang tua yang kurang harmonis ”.
Ada beberapa yang dapat dilakukan, diantaranya :
  1. Fokus pada diri klien.
Contoh :
Tanti, Anda tidak yakin apa yang akan  Anda lakukan ”.
”Tampaknya  Anda berjuang sendirian”


  1. Fokus pada orang lain.
Contoh :
Roni, telah membuat kamu menderita, Terangkanlah tentang dia dan apa yang   telah dilakukannya ?”
  1. Fokus pada topik.
Contoh :
Pengguguran kandungan ? Kamu memikirkan  aborsi ? Pikirkanlah masak-masak dengan berbagai pertimbangan”.
  1. Fokus mengenai budaya.
Contoh:
Mungkin budaya menyerah dan mengalah   pada laki-laki harus diatas sendiri oleh    kaum wanita. Wanita tak boleh menjadi    obyek laki-laki.”
  1. Konfrontasi ; yaitu teknik yang menantang klien untuk melihat adanya inkonsistensi antara perkataan dengan perbuatan atau bahasa badan, ide awal dengan ide berikutnya, senyum dengan kepedihan, dan sebagainya. Tujuannya adalah :  (1) mendorong klien mengadakan penelitian diri secara jujur; (2) meningkatkan potensi klien; (3) membawa klien kepada kesadaran adanya diskrepansi; konflik, atau kontradiksi dalam dirinya.
Penggunaan teknik ini hendaknya dilakukan secara hati-hati, yaitu dengan : (1) memberi komentar  khusus terhadap klien yang tidak konsisten dengan cara dan waktu yang tepat;(2) tidak menilai apalagi menyalahkan; (3) dilakukan dengan perilaku attending dan empati.
Contoh dialog :
Klien                : ” Saya baik-baik saja”.
(suara rendah, wajah murung,  posisi  tubuh  gelisah).”
Konselor           :”Anda mengatakan baik-baik saja, tapi  kelihatannya ada yang tidak beres”
”Saya melihat ada perbedaan antara  ucapan dengan kenyataan  diri ”.
  1. Menjernihkan (Clarifying); yaitu teknik untuk menjernihkan ucapan-ucapan klien yang samar-samar, kurang jelas dan agak meragukan. Tujuannya adalah : (1) mengundang klien untuk menyatakan pesannya dengan jelas, ungkapan kata-kata yang tegas, dan dengan alasan-alasan yang logis, (2) agar klien menjelaskan, mengulang dan mengilustrasikan perasaannya.
Contoh dialog :
Klien                :”Perubahan yang terjadi di keluarga saya membuat saya bingung. Saya tidak mengerti siapa yang menjadi pemimpin di rumah itu.”
Konselor           :”Bisakah Anda menjelaskan persoalan pokoknya ? Misalnya peran ayah, ibu, atau saudara-saudara Anda.”
  1. Memudahkan (facilitating); yaitu teknik untuk membuka komunikasi agar klien dengan mudah berbicara  dengan konselor dan menyatakan perasaan, pikiran, dan pengalamannya secara bebas
Contoh :
Saya yakin Anda  akan berbicara apa adanya, karena saya akan mendengarkan dengan sebaik-baiknya.”
  1. Diam; teknik diam dilakukan  dengan cara attending, paling lama 5 – 10 detik, komunikasi yang terjadi dalam bentuk perilaku non verbal. Tujuannya adalah (1) menanti klien sedang berfikir; (2) sevagai protes  jika klien ngomong berbelit-belit; (3) menunjang perilaku attending dan empati sehingga klien babas bicara.
Contoh dialog :
Klien                :”Saya tidak senang dengan perilaku guru itu
Konselor           :”…………..” (diam)
Klien                :” Saya..harus bagaimana.., Saya.. tidak tahu..
Konselor           :”…………..” (diam)
  1. Mengambil Inisiatif; teknik ini dilakukan manakala klien kurang bersemangat untuk berbicara, sering diam, dan kurang parisipatif. Konselor mengajak klien untuk berinisiatif dalam menuntaskan diskusi. Teknik ini bertujuan : (1) mengambil inisiatif jika klien kurang semangat; (2)  jika klien lambat berfikir untuk mengambil keputusan; (3) jika klien kehilangan arah pembicaraan.
Contoh:
Baiklah, saya pikir Anda mempunyai satu keputusan namun masih belum keluar. Coba Anda renungkan kembali”.
  1. Memberi Nasehat; pemberian nasehat sebaiknya dilakukan jika klien memintanya. Walaupun demikian, konselor tetap harus mempertimbangkannya apakah pantas untuk memberi nasehat atau tidak. Sebab dalam memberi nasehat tetap dijaga agar tujuan konseling yakni kemandirian klien harus tetap tercapai.
Contoh respons konselor terhadap permintaan klien :
Apakah hal seperti ini pantas saya untuk memberi nasehat Anda ? Sebab, dalam hal seperti ini saya yakin Anda lebih mengetahuinya dari pada saya.”
  1. Pemberian informasi; sama halnya dengan nasehat, jika konselor tidak memiliki informasi sebaiknya dengan jujur katakan bahwa dia mengetahui hal itu. Kalau pun konselor mengetahuinya,  sebaiknya tetap diupayakan agar klien mengusahakannya.
Contoh :
Mengenai berapa biaya masuk ke Universitas Pendidikan Indonesia, saya sarankan Anda bisa langsung bertanya ke pihak UPI atau Anda berkunjung ke situs www.upi.com  di internet”.
  1. Merencanakan; teknik ini digunakan menjelang akhir sesi konseling untuk membantu agar klien dapat membuat rencana tindakan (action), perbuatan yang produktif untuk kemajuan klien.
Contoh :
”Nah, apakah tidak lebih baik jika Anda mulai menyusun rencana yang baik berpedoman hasil pembicaraan kita  sejak tadi ”
  1. Menyimpulkan; teknik ini digunakan untuk menyimpulkan hasil pembicaraan yang menyangkut : (1) bagaimana keadaan perasaan klien saat ini, terutama mengenai kecemasan; (2) memantapkan rencana klien; (3) pemahaman baru klien; dan (4) pokok-pokok yang akan dibicarakan selanjutnya pada sesi berikutnya, jika dipandang masih perlu dilakukan konseling lanjutan.
  2. L.     Teknik-Teknik Khusus
Dalam konseling, di samping menggunakan teknik-teknik umum, dalam hal-hal tertentu dapat menggunakan teknik-teknik khusus. Teknik-teknik khusus ini dikembangkan dari berbagai pendekatan konseling, seperti pendekatan Behaviorisme, Rational Emotive Theraphy, Gestalt dan sebagainya
Di bawah disampaikan beberapa teknik – teknik  khusus konseling,  yaitu :
  1. Latihan Asertif; teknik ini digunakan untuk melatih klien yang mengalami kesulitan untuk menyatakan diri bahwa tindakannya adalah layak atau benar. Latihan ini terutama berguna di antaranya untuk membantu individu yang tidak mampu mengungkapkan perasaan tersinggung, kesulitan menyatakan tidak, mengungkapkan afeksi dan respon posistif lainnya. Cara yang digunakan adalah dengan permainan peran dengan bimbingan konselor. Diskusi-diskusi kelompok juga dapat diterapkan dalam latihan asertif ini.
  1. Desensitisasi Sistematis; desensitisasi sistematis merupakan teknik konseling behavioral yang memfokukskan bantuan untuk menenangkan klien dari ketegangan yang dialami dengan cara mengajarkan klien untuk rileks. Esensi teknik ini adalah menghilangkan perilaku yang diperkuat secara negatif dan menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan. Dengan pengkondisian klasik respon-respon yang tidak dikehendaki dapat dihilangkan secara bertahap. Jadi desensitisasi sistematis hakekatnya merupakan teknik relaksi yang digunakan untuk menghapus perilaku yang diperkuat secara negatif biasanya merupakan kecemasan, dan ia menyertakan respon yang berlawanan dengan perilaku yang akan dihilangkan.
  2. Pengkondisian Aversi; teknik ini dapat digunakan untuk menghilangkan kebiasaan buruk. Teknik ini dimaksudkan untuk meningkatkan kepekaan klien agar mengamati respon pada stimulus yang disenanginya dengan kebalikan stimulus tersebut. Stimulus yang tidak menyenangkan yang disajikan tersebut diberikan secara bersamaan dengan munculnya perilaku yang tidak dikehendaki kemunculannya. Pengkondisian ini diharapkan terbentuk asosiasi antara perilaku yang tidak dikehendaki dengan stimulus yang tidak menyenangkan.
  3. Pembentukan Perilaku Model; teknik ini dapat digunakan untuk membentuk Perilaku baru pada klien, dan memperkuat perilaku yang sudah terbentuk. Dalam hal ini konselor menunjukkan kepada klien tentang perilaku model, dapat menggunakan model audio, model fisik, model hidup atau lainnya yang teramati dan dipahami jenis perilaku yang hendak dicontoh. Perilaku yang berhasil dicontoh memperoleh ganjaran dari konselor. Ganjaran dapat  berupa pujian sebagai ganjaran sosial.
  4. Permainan Dialog; teknik ini dilakukan dengan cara klien dikondisikan untuk mendialogan dua kecenderungan yang saling bertentangan, yaitu kecenderungan top dog dan kecenderungan under dog, misalnya :
    1. Kecenderungan orang tua lawan kecenderungan anak.
    2. Kecenderungan bertanggung jawab lawan kecenderungan masa bodoh.
    3. Kecenderungan “anak baik” lawan kecenderungan “anak bodoh”.
    4. Kecenderungan otonom lawan kecenderungan tergantung.
    5. Kecenderungan kuat atau tegar lawan kecenderungan lemah.
Melalui dialog yang kontradiktif ini, menurut pandangan Gestalt pada akhirnya klien akan mengarahkan dirinya pada suatu posisi di mana ia berani mengambil resiko. Penerapan permainan dialog ini dapat dilaksanakan dengan menggunakan teknik “kursi kosong”.
  1. Latihan Saya Bertanggung Jawab; merupakan teknik yang dimaksudkan untuk membantu klien agar mengakui dan menerima perasaan-perasaannya dari pada memproyeksikan perasaannya itu kepada orang lain.
Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk membuat suatu pernyataan dan kemudian klien menambahkan dalam pernyataan itu dengan  kalimat : “…dan saya bertanggung jawab atas hal itu”.
Contoh :
Saya merasa jenuh, dan saya bertanggung jawab atas kejenuhan   itu
Saya tidak tahu apa yang harus saya katakan sekarang, dan saya bertanggung jawab atas ketidaktahuan itu”.
“Saya malas, dan saya bertanggung jawab atas kemalasan itu
Meskipun tampaknya mekanis, tetapi menurut Gestalt akan membantu meningkatkan kesadaraan klien akan perasaan-perasaan yang mungkin selama ini diingkarinya.
  1. Bermain Proyeksi;
Proyeksi :
v      Memantulkan kepada orang lain perasaan-perasaan yang dirinya sendiri tidak mau melihat atau menerimanya
v      Mengingkari perasaan-perasaan sendiri dengan cara memantulkannya kepada orang lain.
Sering terjadi, perasaan-perasaan yang dipantulkan kepada orang lain merupakan atribut yang dimilikinya. Dalam teknik bermain proyeksi konselor meminta kepada klien untuk mencobakan atau melakukan hal-hal yang diproyeksikan kepada orang lain.
  1. Teknik Pembalikan; gejala-gejala dan perilaku tertentu sering kali mempresentasikan pembalikan dari dorongan-dorongan yang mendasarinya. Dalam teknik ini konselor meminta klien untuk memainkan peran yang berkebalikan dengan perasaan-perasaan yang dikeluhkannya.
Misalnya : konselor memberi kesempatan kepada klien untuk memainkan peran “ekshibisionis” bagi klien pemalu yang berlebihan.
  1. Bertahan dengan Perasaan; teknik ini dapat digunakan untuk klien yang menunjukkan perasaan atau suasana hati yang tidak menyenangkan atau ia sangat ingin menghindarinya. Konselor mendorong klien untuk tetap bertahan dengan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Kebanyakan klien ingin melarikan diri dari stimulus yang menakutkan dan menghindari perasaan-perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam hal ini konselor tetap mendorong klien untuk bertahan dengan ketakutan atau kesakitan perasaan yang dialaminya sekarang dan mendorong klien untuk menyelam lebih dalam ke dalam tingkah laku dan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
Untuk membuka dan membuat jalan menuju perkembangan kesadaran perasaan yang lebih baru tidak cukup hanya mengkonfrontasi dan menghadapi perasaan-perasaan yang ingin dihindarinya tetapi membutuhkan keberanian dan pengalaman untuk bertahan dalam kesakitan perasaan yang ingin dihindarinya itu.
  1. Home work assigments;  teknik yang dilaksanakan dalam bentuk tugas-tugas rumah untuk melatih, membiasakan diri, dan menginternalisasikan sistem nilai tertentu yang menuntut pola perilaku yang diharapkan. Dengan tugas rumah yang diberikan, klien diharapkan dapat mengurangi atau menghilangkan  ide-ide dan perasaan-perasaan yang tidak rasional dan tidak logis, mempelajari bahan-bahan tertentu yang ditugaskan untuk mengubah aspek-aspek kognisinya yang keliru, mengadakan latihan-latihan tertentu berdasarkan tugas yang diberikan. Pelaksanaan home work assigment yang diberikan konselor dilaporkan oleh klien dalam suatu pertemuan tatap muka dengan konselor. Teknik ini dimaksudkan untuk membina dan mengembangkan sikap-sikap tanggung jawab, kepercayaan pada diri sendiri serta kemampuan untuk pengarahan diri, pengelolaan diri klien dan mengurangi ketergantungannya kepada konselor.
  2. Adaptive; teknik yang digunakan untuk melatih, mendorong, dan membiasakan klien untuk secara terus-menerus menyesuaikan dirinya dengan perilaku yang diinginkan. Latihan-latihan yang diberikan lebih bersifat pendisiplinan diri klien.
    1. Bermain peran; teknik untuk mengekspresikan berbagai jenis perasaan yang menekan (perasaan-perasaan negatif) melalui suatu suasana yang dikondisikan sedemikian rupa sehingga klien dapat secara bebas mengungkapkan dirinya sendiri melalui peran tertentu.
    2. Imitasi; teknik untuk menirukan secara terus menerus suatu model perilaku tertentu dengan maksud menghadapi dan menghilangkan perilakunya sendiri yang negatif.
Catatan : beberapa contoh phrase dalam wawancara konseling di atas diambil dari Sofyan S. Willis (2004) dan  Sugiharto (2005)
   DAFTAR PUSTAKA
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Akhmad Sudrajat. 1986. Hubungan Pemenuhan Kebutuhan Harga Diri  Siswa oleh Orang Tua dengan Prilaku Sosial Siswa di Sekolah (Skripsi). Bandung : PPB-FIP IKIP Bandung.
Calvin S. Hall & Gardner Lidzey (editor A. Supratiknya). 2005. Teori-Teori Psiko Dinamik (Klinis) : Jakarta : Kanisius
Chaplin, J.P. (terj. Kartini Kartono).2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta : P.T. Raja Grafindo Persada.
Depdiknas, 2004. Dasar Standarisasi Profesi Konseling. Jakarta : Bagian Proyek Peningkatan Tenaga Akdemik Dirjen Dikti
——— 2003. Pedoman Penyelenggaraaan Program Percepatan Belajar SD, SMP dan SMA. Jakarta : Dirjen Dikdasmen.
———,1990. Peraturan Pemerintah No. 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah. Jakarta : Depsiknas
Djumhar I dan Moh. Surya. 1975. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah (Guidance & Counseling). Bandung : CV Ilmu.
Gendler, Margaret E..1992. Learning & Instruction; Theory Into Practice.  New York : McMillan Publishing.
H.M. Arifin. 2003. Teori-Teori Konseling Agama dan Umum. Jakarta. PT Golden Terayon Press.
Hurlock, Elizabeth B. 1980. Developmental Phsychology. New Yuork : McGraw-Hill Book Company
Moh. Surya. 1997. Psikologi Pembelajaran dan Pengajaran. Bandung PPB – IKIP Bandung.
Muhibbin Syah. 2003. Psikologi Belajar. Jakarta : PT Raja Grafindo.
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling,  Jakarta : Depdiknas.
———-, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling,  Jakarta : Rineka Cipta.
Shertzer, B. & Stone, S.C. 1976. Fundamental of Gudance. Boston : HMC
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan  Praktek.   Bandung : Alfabeta
Sugiharto.(2005). Pendekatan dalam Konseling (Makalah). Jakarta : PPPG
Sumadi Suryabrata. 1984. Psikologi Kepribadian. Jakarta : Rajawali.
Sunaryo Kartadinata.2003. Inventori  Tugas Perkembangan. Bandung : Lab. PPB-UPI Bandung
Syamsu Yusuf LN. 2003. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja.. Bandung :  PT Rosda Karya Remaja.
W.S. Winkel 1982. Bimbingan dan Penyuluhan di Sekolah Menengah. Jakarta : Gramedia.

No comments:

Post a Comment