Evaluasi Strategi Pembelajaran Matematika Teknik I Berdasarkan Uji Periksa Kemampuan Awal Mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin
Sumarno [Dosen UNIMED. Bidang Keahlian Penelitian dan Evaluasi Pendidikan]
Abstrak
Dilihat dari latar belakang pendidikannya mahasiswa pendidikan teknik mesin Unimed berasal dari Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan dari Sekolah Menengah Atas (SMA). Karakteristik awal yang berbeda ini mengakibatkan entry knowledge matematika sangat berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat keberhasilan pembelajaran Matematika I menggunakan uji periksa kemapuan awal.
Penelitian ini dikenakan pada seluruh mahasiswa yang mengikuti perkuliahan Matematika I. Analisis yang digunakan adalah model kesenjangan (discrepancy model) fase tiga dari model yang dikembangkan oleh Malcolm Provus. Untuk mengetahui keberhasilan strategi pembelajaran dengan uji-periksa kemampuan awal, digunakan tes. Yang menjadi indikator keberhasilan strategi pembelajaran dengan uji-periksa kemapuan awal adalah prestasi yang dapat dicapai mahasiswa dibandingkan dengan strategi sebelumnya (tidak dengan uji-periksa kemampuan awal). Untuk mengetahui perbedaan ini dilakukan uji beda (uji t).
Hasil analisis kesenjangan menunjukkan bahwa mahasiswa asal SMA sebagian besar mengelompok pada kelompok kurang menguasai sub pokok bahasan matematika SMA yang dibutuhkan untuk pembelajaran Matematika Teknik I, sedangkan mahasiswa asal SMKTI sebagian besar mengelompok pada kelompok sama sekali tidak menguasai. Pembelajaran dengan uji periksa kemampuan awal lebih efektif dalam mengembangkan aktivitas pembelajaran tidak efektif bila taraf signifikansi (α) = 5%, tetapi efektif bila taraf signifikansi (α) = 10%.
A. Pendahuluan
Berdasarkan asal sekolah, mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Negeri Medan dapat dibedakan menjadi mahasiswa yang berasal dari sekolah menengah atas (SMA) dan mahasiswa yang berasal dari sekolah menengah kejuruan dan industri (SMKTI). Perbedaan kedua institusi tersebut tidak sekedar perbedaan “label”, definisi, struktur organisasi dan tujuan pendidikannya saja, tetapi secara filofis keberadaan kedua sekolah tersebut jauh berbeda. Perbedaan ini tercermin dalam aspek-aspek lain yang erat kaitannya dengan perencanaan kurikulum, yaitu: (1) aspek orientasi pendidikannya, (2) justifikasi untuk eksistensinya, (3) fokus kurikulum, (4) kriteria keberhasilannya, (5) kepekaan terhadap perkembangan masyarakat, (6) perbekalan logistiknya, dan (7) hubungan dengan masyarakat dunia usaha (Sukamto, 1988).
Bila perbedaan-perbedaan di atas dipetakan ke unit yang lebih spesifik, yaitu fokus kurkulum SMU/SMKTI, khususnya kurikulum Matematika (kurikulum dalam arti rencana yang tertulis, yaitu garis-garis besar program pengajaran = GBPP), maka akan terdapat berbagai perbedaan-perbedaan; seperti: pokok bahasan yang disajikan, jumlah dan macam pokok bahsan, jumlah jam per pokok bahasan, dan jumlah jam per semester. Perbedaan GBPP (silabus) mata pelajaran Matematika ini mengakibatkan perbedaan proses pembelajarannya, yang akhirnya akan bermuara pada perbedaan kemampuan mahasiswa dalam memahmi dan menyelesaikan soal-soal Matematika.
Menurut Mooduto (1988) matematika di pendidikan teknik mempunyai fungsi sebagai dan peranan sebagai alat Bantu bagi mata kuliah bidang studi, karena pada setiap persoalan dalam mata kuliah bidang studi senantiasa menggunakan konsep-konsep matematika sebagai alat Bantu untuk mencari solusi dari setiap persoalan yang muncul. Persoalan-persoalan tersebut terlebih dahulu diterjemahkan dalam bentuk matematis, kemudian dilakukan upaya penyelesaian dengan cara matematis dan selanjutnya diterjemahkan atau ditafsirkan kembali sesuai dengan kaidah-kaidan mata kuliah bidang studi (MKBS).
Karena mahasiswa yang bersal dari SMKTI mempunyai kemampuan awal matematika yang lebih rendah jika dibandingkan dengan mahasiswa yang berasal dari SMA, maka akan berakibat pada rendahnya prestasi pada mata kuliah-mata kuliah yang membutuhkan konsep-konsep matematika. Misalnya, seperti pada Mata Kuliah Mekanika Teknik. Hasil penelitian Muslin (1997) menunjukkan bahwa mahasiswa yng berasal dari SMA memiliki prestasi belajar Mekanika Teknik I lebih tinggi jika dibandingkan dengan mahasiswa yang berasal dari SMKTI
Dalam pendekatan sistem instruksional, kegiatan mengidentifikasi karakteristik dan kemampuan awal mahasiswa merupakan tahap (kegiatan) awal dari sistem instruksional (Gambar 1). Gambar ini menunjukkan bahwa untuk melakukan tindakan pengembangan kemampuan mahasiswa yang tepat diperlukan adanya identifikasi kemampuan awal mahasiswa. Upaya yang dapat ditempuh untuk mengetahui kemapuan awal mahasiswa adalah dengan melihat/memahami tingkat pemahaman mahasiswa terhadap pokok-pokok bahasan/analisis tugas (Tuti, 1986), dan efikasi (perkiraan kemampuan diri) dalam menyelesaikan soal-soal (Sukamto, 1999).
Gambar 1. Bagan Pendekatan Sistem Instruksional
Secara prosedural kedudukan kegiatan mengidentifikasi kemampuan awal merupakan rangkaian seri dengan kegiatan pengembangan instruksional. Dengan demikian tahap mengidentifikasi karaktetistik dan kemampuan awal mahasiswa akan mempengaruhi tahap pengembangan, yang meliputi: (1) menulis tujuan instruksional, (2) menulis tes, (3) menyusun strategi instruksional, dan (4) mengembangkan bahan instruksional (Suparman, 1991).
Uraian di atas menunjukkan bahwa identifikasi (uji-periksa) kemampuan awal mahasiswa yang meliputi pemahaman dan efikasi materi matematika ketika mereka masih di SLTA (SMA atau SMKTI) merupakan langkah instruksional yang sangat penting dan sangat menentukan langkah instruksional berikutnya (Sukamto, 1999). Untuk mengetahui apakah suatu program (pembelajaran dengan uji periksa kemampuan awal) dibutuhkan dan mungkin untuk dilaksanakan, apakah program tersebut memadai untuk memenuhi kebutuhan yang telah diidentifikasi, apakah program yang telah dilakukan seperti yang diharapkan, dan apakah program tersebut sungguh-sungguh membantu orang tentang apa yang dibutuhkan, apakah hasil program telah sesuai dengan yang diharapkan, apakah proses program telah berjalan seperti yang diharapakan diperlukan adanya evaluasi (Pasovac & Carey, 1985)
B. Masalah Penelitian
Pada pembelajaran Matematika Teknik I, bisanya kemampuan awal ditentukan berdasarkan asumsi. Asumsi seperti ini tidak selalu benar, dan akan membawa akibat-akibat tertentu. Apabila kemampuan awal mahasiswa ditentukan terlalu tinggi, maka hanya mahasiswa yang pandai sajalah yang akan dapat mengikuti dan menerima materi ajar, sehingga proses pembelajaran tersebut tidak efektif. Sebaliknya bila kemampuan awal ditentukan terlalu rendah, maka (1) mahasiswa akan kehilangan banyak waktu untuk mempelajari materi ajar yang sebetulnya mereka sudah memahaminya, (2) mereka akan kehilangan motivasi untuk belajar dan merasa bosan, dan (3) dosen akan kehilangan waktu dan tenaga terlalu banyak untuk merancang materi instruktional yang sebetulnya tidak dibutuhkan mahasiswa (Tuti, 1986).
Akibat dari pembelajaran yang mengabaikan kemampuan awal seperti ini akan mengakibatkan mahasiswa yang berasal dari SMKTI cenderung berada pada kelompok mahasiswa dengan nilai rendah, sedangkan mahasiswa yang berasal dari SMA akan berada pada kelompok dengan nilai tinggi, sehingga berakibat pada proses pembelajaran pada masa kuliah lainnya yang membutuhkan konsep-konsep matematika.
Adapun perumusan masalah penelitian disajikan sebagai berikut:
- Bagaimanakah gambaran tingkat pemahaman mahasiswa terhadap pokok bahasan matamateka SLTA yang dibutuhkan dalam pembelajaran Matematika Teknik I ?
- Apakah strategi pembelajaran Matematika I yang dilakukan dengan berdasarkan hasil uji-periksa kemampuan awal lebih efektif jika dibandingkan dengan tanpa uji-periksa kemampuan?
- Apakah strategi pembelajaran berdasarkan hasil uji-periksa kemampuan awal lebih baik dalam meningkatkan prestasi belajar Matematika I mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin jika dibandingkan dengan tanpa uji-periksa kemampuan?
C. Tinjaun Pustaka
1. Uji-Periksa Kemampuan Awal Matematika
Indonesia menerapkan pola persekolahan yang terdiri atas dua jalur atau yang sering disebut dengan double tracks school system. Pada pola ini sekolah menengah dikelompokkan dalam dua jalur, yaitu sekolah menengah umum (SMU) yang dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah dirubah menjadi sekolah menengah atas (SMA) dan sekolah menengah kejuruan (SMK). SMK ini merupakan peleburan nama dari berbagai kelompok sekolah kejuruan yang mengindikasikan bidang keahliannya masing-masing, seperti sekolah menengah atas (SMEA), sekolah teknologi menengah (STM), sekolah menengah kesejahteraan keluarga (SMKK), dan lain-lain.
SMKTI merupakan sekolah menengah kejuruan (SMK) yang mengorientasi-kan lulusannya untuk memasuki lapangan kerja dalam bidang teknologi dan industri. Dalam praktik di lapangan SMKTI dikenal dengan STM. SMKTI sebagai bagian dari sistem pendidikan menengah tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan secara keseluruhan. Walaupun demikian SMKTI sebagai salah satu bentuk pendidikan kejuruan mempunyai kekhususan atau karakteristik tertentu yang membedakanya dengan sistem pendidikan sekolah menengah umum.
Dilihat dari latar belakang asal sekolah mahasiswa Fakultas Teknik Jurusan Pendidikan Teknik Mesin dapat dibedakan menjadi mahasiswa yang berasal dari SMKTI (STM) dan mahasiswa yang berasal dari SMA. Karena secara filosif berbeda, maka perbedaan ini akan memberi warna yang berbeda pada berbagai aspek. Pada aspek yang berkenaan dengan mata pelajaran yang sajikan, maka akan diketahui perbedaan jenis (nama) mata pelajaran, pemaknaan, misi dan fungsi dari mata pelajaran tersebut.
Bila perbedaan ini dipetakan ke unit yang lebih khusus, yaitu mata pelajaran matematika, maka akan diketahui bahwa pengertian, fungsi dan tujuan dari pemberian mata pelajaran matematika dari kedua instusi tersebut (SMA dan SMKTI) sangat berbeda. Mata pelajaran matematika di SMK dimakna sebagai bahan kajian dan pelajaran yang bersifat memberi bekal kemampuan kepada siswa untuk berpikir logas dan kritis, yang digunakan sebagai alat bantu untuk memecahkan masalah-masalah dalam pekerjaan yang sesuai dengan program keahlian masing-masing. Sedangkan pada SMA dimaknai sebagai bahan kajian dan pelajaran yang bersifat memberi bekal kemampuan siswa untuk berpikir logis dan kritis yang digunakan untuk menggali ilmu pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Perbedaan ini akan sangat mempengaruhi jumlah jam mata pelajran matematika dan tingkat kedalamannya. Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa bekal materi mata pelajaran yang diberikan pada siswa SMA jauh lebih banyak dibandingkan dengan SMKTI (STM).
Uji periksa merupakan kegiatan awal sebelum proses kegiatan penyajian materi perkuliahan yang dimaksudkan untuk mengetahui tingkat penguasaan mahasiswa pendidikan Teknik Mesin terhadap materi matematika SLTA yang nantinya akan digunakan sebagai dasar untuk memahmi matematika I. Dengan diketahuinya kemampuan awal mahasiswa baik yang berasal dari SMA maupun SMKTI akan dapat ditentukan strategi pembelajaran yang tepat, sehingga dengan pendekatan ini akan diperoleh prestasi belajar mahasiswa yang lebih baik pula.
- 2. Strategi Pembelajaran
Kata pembelajaran merupakan terjemahan dari kata “instructional”. Kata ini merupakan serapan dari Bahasa Inggris yang berarti bersifat pengajaran, yang dalam Bahasa Indonesia diartikan dengan istilah pembelajaran. Dengan demikian istilah instruksional yang digunakan dalam bagian ini diartikan sama dengan pembelajaran. Kata pembelajaran menunjukkan adanya dua aktivitas, yaitu: ada yang mengajarkan dan ada yang menerima pengajaran (belajar). Mengajar dapat diartikan sebagai penciptaan suatu sistem lingkungan yang memungkin terjadinya proses belajar. Sistem lingkungan ini terdiri dari komponen-komponen yang saling mempengaruhi. Misalnya, tujuan instruksional yang ingin dicapai, materi yang diajarkan, guru dan siswa/mahasiswa yang harus memainkan peranan, bentuk kegiatan yang dilakukan, serta sarana dan prasarana belajar mengajar yang tersedia. Komponen-komponen ini saling mempengaruhi sehingga setiap peristiwa belajar mengajar mempunyai profil yang unik. Hal ini berarti masing-masing profil sistem lingkungan belajar mengakibatkan tercapainya tujuan-tujuan belajar yang berbeda (Raka, 1983).
Istilah strategi dapat digunakan dalam banyak konteks dengan makna yang tidak selalu sama. Dalam konteks belajar mengajar, strategi berarti pola umum perbuatan guru murid, dosen mahasiswa di dalam perwujudan kegiatan belajar mengajar (Raka, 1983). Selanjutnya pada bagian lain juga diutarakan bahwa konsep strategi menunjukkan pada karakteristik abstrak rentetan perbuatan guru-murid di dalam persitiwa belajar mengajar. Implisit di balik karakteristik abstrak itu ada rasional yang membedakan strategi yang satu dari strategi yang lain secara fundamental.
Dick dan Carey (1985) menyatakan bahwa strategi instruksional menjelaskan komponen-komponen umum dari suatu set bahan instruksional dan prosedur-prosedur yang akan digunakan bersama-sama bahan-bahan tersebut untuk menghasilkan hasil belajar tertentu pada siswa atau mahasiswa.
Menurut Suparman (1991) strategi pembelajaran berkenaan dengan pendekatan pengalajran dalam mengelola kegiatan instruksional secara sistematis sehingg isi pelajaran dpaat dikuasai oleh siswa atau mahasiwa secara efektif dan efisien. Selanjutnya juga dijelaskan bahwa di dalam strategi instruksional mengangdung empat pengertian: (1) urutan kegiatan instruksional, (2) metode instruksional, (3) media instruksional, dan (4) waktu yang digunakan oleh pengajar dan siswa/mahasiswa.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa strategi instruksional merupakan perpaduan dari urutan kegiatan, cara pengorganisasian materi pelajran dan siswa/mahasiswa, peralatan dan bahan, serta waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan instruksional yang telah ditetapkan. Di samping itu untuk dapat melaksanakan tugas secara profesional, seorang guru/dosen memerlukan wawasan yang mantap tentang kemungkinan-kemungkin strategi pembelajaran (belajar-mengajar) yang sesuai dengan tujuan-tujuan belajar.
3. Pentingnya Uji-Periksa Kemampuan Awal Dalam Pembelajaran
Dalam kegiatan pebelajaran ada kegiatan yang disebut dengan identifikasi kemapuan awal mahasiswa/mahasiswa. Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengidenifikasi keterampilan-keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan mahasiswa dalam usaha mencapai tujuan instruksional. Pengetahuan dan keterampilan ini meskipun bukan merupakan tujuan akhir pembelajaran, tetapi harus dikuasai mahasiswa/siswa agar ia dapat melakukan keterampilan atau mempelajari pengetahuan yang sifat lebih kompleks (Tuti, 1986).
Dalam teori belajar tingkah laku (behavioristic) ada suatu proses belajar yang disebut dengan orientasi. Orientasi ini dimaksudkan agar mahasiswa dapat menangkap dan memahami ilmu yang akan disajikan oleh pengajar. Untuk intu pada waktu proses orientasi mahasiswa harus sudah memiliki pengetahuan atau keterampilan berpikir yang diperlukan untk memahami ilmu yang akan diberikan oleh pengajar. Disinlah pentingnya kemampuan awal mahasiswa yang harus diketahui oleh pengajar/dosen, agar dosen dapat menyusun rencana pengajaran yang tepat.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa memahami karakteristik dan kemapuan awal mahasiswa merupakan kegiatan yang sangat penting, karena kegiatan ini akan sangat mempengaruhi keberhasilan belajar mahasiswa (Sukamto, 1999). Untuk mengetahui lebih jauh kondisi awal mahasiswa diperlukan kegiatan analisis tugas. Dari kegiatan ini akan diketahui prerekuisit esensial dan prerekuisit suportif.
Menurut Tuti (1986) prerekuisit esensial merupakan keterampilan atau pengetahuan yang harus sudah dimiliki/dikuasai siswa/mahasiswa apabila ingin mencapai tujuan instruksional secara efektif. Sebagai contoh, mahasiswa tidak akan dapat menyelesaikan persamaan integral triogonometri dengan benar, sebelum mahasiswa yang bersangkutan memahami konsep-konsep trigonometri. Sedangkan prerekuisit suportif adalah prerekuisit yang tidak harus ada/dikuasai oleh mahasiswa, tetapi adanya prerekuisit ini akan memperlancar proses belajar. Yang termasuk ke dalam prerekuisit suportif antara lain: sikap, informasi verbal, dan strategi kognitif.
Dosen sebagai perancang dan eksekutor instruksional diharapkan mempunyai kemampuan mengidentifikasi kemampuan awal yang dimiliki mahasiswa sebelum ia memulai pembelajarannya. Menurut Sukamto (1999) kemampuan awal dapat diketahui berdasarkan pemahaman mahasiswa terhadap materi pokok-pokok bahasan atau sub pokok bahasan dan efikasi (perkiraaan kemampuan diri) dalam menyelesaikan soal-soal.
Menurut Tuti (1986: 26) mengidentifikasi kemampuan awal mahasiswa sangat penting karena:
- Mahasiswa tidak akan mengalami kesukaran dalam menerima pelajaran yang akan diberikan.
- Dosen dapat mengetahui darimana ia akan memulai pemberian pelajaran.
- Dosen tidak membuang-buang waktu untuk mengajar keterampilan/ pengetahuan yang telah dikuasai mahasiswa.
D. Metode Penelitian
1. Setting Penelitian
Penelitian ini dilakukan di program studi Pendidikan Teknik Mesin Universitas Negeri Medan. Adapun unit analisisnya adalah mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin yang mengikuti perkuliahan Matematika Teknik I pada tahun akademik 2007/2008. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian kuasi eksperimen, dengan kelompok treatment adalah mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin yang mengikuti Matematika Teknik I tahun akademik 2007/2008; dan kelompok kontrol adalah mahasiswa tahun sebelumnya yang mengikuti Matematika Teknik I yang diperlukan tanpa uji periksa kemampuan awal.
2. Kegiatan Penelitian
Penelitian quasi eksperimen ini dilakukan mencakup aktivitas: perencanaan, pelaksanaan/aktivitas penelitian, dan analisis data.
a. Perencanaan
Kegiatan yang termasuk dalam tahap perencanaan adalah:
- Membuat daftar cek yang berisikan daftar pokok bahasan yang tercakup dalam standar kompetensi matematika (silabus) dari masing-masing institusi (SMA dan SMKTI).
- Mempersiapkan/membuat instrumen evaluasi diri yang dimaksudkan untuk mengungkap kemampuan mahasiswa terhadap sub-sub pokok bahasan yang pernah diajarkan di SLTA yang juga diperlukan sebagai konsep pendukung Matematika Teknik I.
- Membuat instrumen atau soal tes yang mencakup sub-sub pokok bahasan SLTA yang juga diperlukan sebagai konsep pendukung dalam memahami materi Matematika Teknik I, dan pada bagian samping dari masing-masing soal diberi kolom efikasi waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan soal tersebut.
- Membuat alat banru mengajar (hand out) materi Matematika SLTA yang diperlukan sebagai konsep penunjang Matematika Teknik I yang belum dikuasai mahasiswa.
- Membuat alat evaluasi (soal tes) untuk mengetahui pencapai belajar dari setiap pertemuan/sub pokok bahasan.
b. Pelaksanaan/Aktivitas Penelitian
Ada tiga tahap pelaksanaan penelitian, yaitu: (1) uji-periksa kemampuan awal, yang mencakup tahap pemberian instrumen evaluasi diri yang berupa daftar cek sub-sub pokok bahasan SLTA yang diperlukan sebagai konsep pendukung Matematika I yang belum dikuasai oleh mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin. Pemberian tes ini dimaksudkan untuk mengetahui tingkat pemahaman dari masing-masing sub-sub pokok bahasan, efeikasi waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan masing-masing soal. (2) tahap pemberian bahan ajar (hand out) dari konsep-konsep yang belum dikuasai, dan (3) tahap evaluasi.
Tahap pertama diberikan/dilaksanakan beberapa hari sebelum kegiatan pembelajaran dan dikembalikan paling lambat tiga hari sebelum kegiatan pembelajaran. Berkas uji-periksan kemapuan awal ini dapat dibawa pulang untuk dikerjakan di rumah. Tahap kedua dilakukan pada setiap dua hari sebelum kegiatan pembelajaran dilaksanakan. Tenggang waktu dua hari ini dimaksudkan untuk mendistribusikan bahan ajar (hand out sesuai dengan kedudukan kemampuan awal mahasiswa) dan mahasiswa mempunyai waktu untuk mempelajarinya. Tahap ketiga dilakukan setiap akhir kegiatan pembelajaran (sub pokok bahasan) yang berupa tugas yang harus dikerjakan di rumah.
Kelompok kontrol adalah mahasiswa semesternya yang diajar oleh dosen yang sama, tetapi tanpa strategi pembelajarannya tanpa uji periksa kemampuan awal.
c. Teknik Pengumpulan Data
Ada lima teknik atau cara yang digunakan untuk mengumpulkan data penelitian tindakan ini, yaitu:
- Untuk mengetahui apakah pada waktu di SLTA mahasiswa pernah belajar konsep-konsep matematika yang diperlukan sebagai pendukung penguasaan Matematika Teknik I. Untuk ini digunakan daftar cek. Dengan daftar cek ini akan diketahui sub-sub pokok bahasan yang pernah dan yang belum pernah diajarkan ketika di SLTA.
- Untuk mengetahui tingkat pemahaman mahasiswa terhadap materi pendukung tersebut di atas digunakan instrumen self evaluation dan instrumen tes. Self evaluation ini dibuat dengan skala Likert dengan empat gradasi, yaitu sama sekali tidak menguasai, sedikit menguasai, cukup menguasai, dan menguasai. Instrumen tes disusun berdasarkan daftar kompetensi matematika yang diberikan ketika di SLTA yang kemudian dimatchkan dengan materi Matematika Teknik I.
- Untuk mengetahui efikasi mahasiswa terhadap materi matematika SLTA yang diperlukan sebagai pendukung Matematika Teknik I, pada setiap soal tes disertai dengan kolom waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan soal masing-masing.
- Untuk mengetahui keberhasilan strategi pembelajaran yang digunakan di setiap pertemuan, maka di setiap pertemuan (sub pokok bahasan) mahasiswa akan diberi tes singkat.
- Untuk mengetahui efisien, maka dosen akan menggunakan standar waktu sebelumnya (tanpa uji-periksa kemampuan awal). Apakah waktu yang diperlukan pada pembelajaran dengan uji-periksa akan sama atau lebih sedikit dibandingkan pembelajaran sebelum (tanpa uji-periksa kemampuan awal).
3. Analisis Data
Analisis yang digunakan adalah model kesenjangan (discrepancy model) fase tiga dari model yang dikembangkan oleh Malcolm Provus. Model ini dimaksudkan untuk mengetahui: (1) tingkat kesuaian antara standar kompetensi yang telah ditentukan di Fakultas Teknik denan standar kompetensi yang telah diberikan di SLTA atau dengan kata lain ketersedian materi matematika SLTA yang diperlukan sebagai pendukung Matematika Teknik I. (2) waktu yang dibutuhkan untuk pembelajaran dengan uji-periksa kemampuan awal (per sub pokok bahasan) dibandingkan dengan waktu standar (tanpa uji-periksa kemampuan awal). Analisis ini mengarah pada evaluasi terhadap efiseinsi waktu yang diperlukan pada pembelajaran dengan uji-periksa kemampuan awal.
Untuk mengetahui keberhasilan strategi pembelajaran dengan uji-periksa kemampuan awal, digunakan penilaian acuan patokan (PAP) terhadap hasil tugas dan tes singkat. Yang menjadi indikator keberhasilan strategi pembelajaran dengan uji-periksa kemapuan awal adalah prestasi dapat dicapai mahasiswa dibandingkan dengan strategi sebelumnya (tidak dengan uji-periksa kemampuan awal). Untuk mengetahui perbedaan ini dilakukan uji beda (uji t).
E. Hasil Penelitian Dan Pembahasan
1. Hasil Uji Periksa Kemampuan Awal
Hasil uji periksa kemampuan awal mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin, yang berasal dari SMA dan SMKTI (STM) terhadap materi matematika SLTA yang merupakan dasar untuk mempelajari Matematika Teknik I, dapat dikelompok menjadi empat kelompok, yaitu: sama sekali tidak menguasai (SSTM), kurang menguasai (KM), cukup menguasai (CM), dan menguasai (M). Persentase masing-masing kelompok dapat dilihat pada Tabel 1 dan Tabel 2 berikut ini.
Tabel 1
Persentase Tingkat Penguasaan Mahasiswa Asal SMA
Terhadap Materi Matematika SLTA
Pokok bahasan | Tingkat penguasaan | |||
SSTM | KM | CM | M | |
Relasi dan fungsi | 20% | 56,67% | 10% | 13,33% |
Persamaan dan pertidaksamaan | 15,62% | 53,12% | 21,87% | 9,39% |
Trigonometri | 22,58% | 48,39% | 12,90% | 16,13% |
Matrik dan determinan | 9,37% | 37,5% | 28,12% | 25,01% |
Vektor | 41,93% | 51,61% | 6,46% | - |
Limit fungsi | 13,33% | 40,00% | 28,88% | 17,79% |
Turunan | 14,58% | 46,66% | 19,38% | 19,38% |
Berdasarkan paparan Tabel 1 dapat diketahui bahwa, pemahaman mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin asal SMA terhadap materi matematika SLTA yang diperlukan sebagai dasar untuk mempelajari Matematika Teknik I termasuk dalam kelompok kurang menguasai dan sama sekali tidak menguasa. Walaupun demikian yang termasuk alam kelompok cukup menguasai berkisar antara 6 – 29%, sedangkan yang termasuk dalam kelompok menguasai 9 – 26%, kecuali untuk pokok bahasan vektor.
Tabel 2
Persentase Tingkat Penguasaan Mahasiswa Asal SMKTI
Terhadap Materi Matematika SLTA
Pokok bahasan | Tingkat penguasaan | |||
SSTM | KM | CM | M | |
Relasi dan fungsi | 44,56% | 41,30% | 8,69% | 5,45% |
Persamaan dan pertidaksamaan | 52,25% | 45,76% | - | 1,99% |
Trigonometri | 52,47% | 44,27% | 12,36% | 3,75% |
Matrik dan determinan | 33,90% | 55,93% | 8,47% | 1,7% |
Vektor | 41,67% | 51,67% | 6,66% | - |
Limit fungsi | 35,58% | 48,31% | 12,36% | 3,75% |
Turunan | 52,17% | 33,70% | 8,69% | 5,44% |
Berdasarkan Tabel 2 di atas diperoleh gambaran bahwa pemahaman mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin asal SMKTI (STM) terhadap materi matematika SLTA yang diperlukan sebagai dasar untuk mempelajari Matematika Teknik I mengelompok pada kelompok kurang menguasai dan sama sekali tidak menguasa. Konsisi ini juga menujukkan bahwa penguasaan mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin yang berasal dari SMKTI (STM) jauh lebih buruk jika dibandingkan dengan yang berasal dari SMA. Yang termasuk dalam kelompok cukup menguasai hanya berkisar antara 8% sampai 13%, bahkan tidak ada yang masuk dalam kelompok cukup menguasan pada pokok bahasan Persamaan dan Pertidaksamaan. Mahasiswa yang termasuk kelompok menguasai hanya berkisar antara 1% sampai 6%.
Materi matematika SLTA yang diperlukan sebagai dasar untuk mempelajari Matematika Teknik I menunjukkan bahwa pada SMA semua pokok bahasan materi telah pernah mereka pelajari, sedangkan pada SMKTI (STM), ada beberapa sub pokok bahasan yang tidak diajarkan ketika di STM. Hasil dari uji periksa ini menunjukkan bahwa mahasiswa yang menyatakan: fungsi komposisi tidak pernah dipelari 10%, grafik trigonometri 30%, vektor 43%, turunan fungsi komposisi 63%, dan turunan parsial 76%.
2. Efektivitas dan Efisiensi Pembelajaran dengan Uji-Periksa.
Dalam dua kali pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk menyajikan kedua materi pokok bahasan dapat dikatakan tidak berbeda jika dibandingkan dengan waktu tahun sebelumnya (yang tidak menggunakan uji-periksa). Walaupun hal ini dapat dikatakan tidak berbeda (tidak efisien), tetapi pembelajaran dengan uji periksa kemampuan awal dapat dikatakan lebih efektif dalam meningkatkan aktivitas pembelajaran jika dibandingkan dengan tidak menggunakan uji periksa kemampuan awal. Hal ini terlihat dari mahasiswa yang memperoleh hand out beberapa hari sebelum pembelajaran, terlihat segera membuka hand out yang pernah diberikannya, dan 83% mahasiswa yang diberi hand out menyatakan bahwa mereka telah mempelajarinya secara sendiri, serta ada 52% mahasiswa menyatakan telah mempelajarinya dengan teman yang lain, 20% mahasiswa asal SMKTI menyatakan merasa kemampuan matematikanya lebih baik.
Di samping itu mahasiswa yang berasal dari SMKTI terlihat lebih termotivasi dan lebih bersemangat dalam mengikuti perkulian. Indikasi ini menunjukkan bahwa dengan uji periksa kemampuan awal.
3. Perbedaan Prestasi Belajar Mahasiswa
Berdasarkan Tabel 3 di bawah ini dapat diketahui bahwa F hitung untuk uji-periksa dan non uji (A) dengan Equal variance assummed (diasumsikan kedua varians sama atau menggunakan pooled variance t test) adalah 5,040 dengan probabilitas 0,27. Karena probabilitas < 0,05, maka Ho ditolak, jadi dapat dinyatakan varians kedua kelompok (mahasiswa tahun akademik 2006/2007 dengan mahasiswa 2007/2008) benar-benar tidak sama.
Tabel 3
Uji Beda dengan t Tes
Perbedaan yang nyata dari kedua varians tersebut membuat penggunaan varians untuk membandingkan rata-rata populasi dengan t test sebaiknya menggunakan dasar Equal variance not assumed (diasumsikan kedua varian tidak sama).
Analisis dengan memakai t test untuk asumsi varians tidak sama hipoteis yang diuji adalah:
Ho = Kedua rata-rata poplasi adalah identik (rata-rata prestasi belajar mahasiswa stambuk 2006/2007 dan 2007/2008 adalah sama).
Ha = Kedua rata-rata poplasi adalah tidak identik (rata-rata prestasi belajar mahasiswa stambuk 2006/2007 dan 2007/2008 adalah berbeda).
Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa F hitung untuk hitung untuk uji-periksa dan non uji-periksa (A) dengan equal variance not assumed (diasumsikan kedua varians tidak sama atau menggunakan separate variance test adalah 1,943 dengan probabilitas 0,55. Karena probabilitas > 0,05, maka Ho diterima, dengan kata lain kedua rerata prestasi mahasiswa tahun akademik 2006/2007 (non uji-periksa) dan tahun akademik 2007/2008 (dengan uji-periksa) tidak berbeda. Bila menggunakan α = 10%, maka Ho ditolak, dengan kata lain dapat dikatakan bahwa kedua rerata prestasi mahasiswa tahun akademik 2006/2007 (non uji-periksa) dan tahun akademik 2007/2008 (dengan uji-periksa) berbeda dengan tingkat kepercayaan 90%.
Berdasarkan Tabel 3 juga dapat diketahui bahwa perubahan penggunaan equal variance assumed ke equal variance not assumed mengakibatkan menurunya degree of freedom (derajat kebebasan), yaitu dari 92 menjadi 90,428 atau kegagalan mengasumsikan kesamaan varians berakibat keefektifan ukuran sampel menjadi 1,57% lebih.
4. Pembahasan Hasil Penelitian
Hasil temuan penilitian yang menunjukkan bahwa pembelajaran dengan uji periksa kemampuan awal tidak lebih efisien dibandingkan dengan pembelajaran tanpa uji periksa kemampuan awal. Hal dapat disebabkan oleh perbedaan komposisi mahasiswa, dimana kelompok kontrol (tanpa uji periksan kemampuan awal) terdiri atas 75% berasal dari SMA dan 25% dari SMKTI, sedangkan mahasiswa yang diajar dengan uji periksa kemampuan awal terdiri atas 50% berasal dari SMA dan 50% dari SMKTI. Komposisi ini sangat berpengaruh terhadap hasil belajar, dengan demikian walaupun kelompok uji periksa ada kenaikan prestasi belajar tetapi belum mampu menutupi perbedaan prestasi yang disebabkan oleh perbedaan komposisi.
Dilihat dari aspek aktivitas, strategi pembelajan dengan uji periksa dapat dikatakan efektif karena mahasiswa yang berasal dari SMKTI lebih termotivasi untuk mengikuti pembelajaran Matematika Teknik I. Hal ini dapat diketahui dari hampir semua mahasiswa yang berasal dari SMKTI merasa lebih termotivasi, dan 83% mahasiswa yang diberi hand out menyatakan bahwa mereka telah mempelajarinya secara sendiri, ada 52% mahasiswa menyatakan telah mempelajarinya dengan teman yang lain, dan 20% mahasiswa asal SMKTI menyatakan merasa kemampuan matematikanya lebih baik.
Bila dilihat dari hasil belajar, hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan strategi pembelajaran dengan uji-periksa kemampuan awal tidak lebih efektif dibandingkan dengan tanpa uji-periksa kemampuan awal. Dimana dengan taraf signifikansi 5% prestasi belajar kedua kelompok (dengan uji-periksa kemampuan awal dan tidak) tidak berbeda, tetapi bila menggunakan taraf signifikansi 10%, maka rerata kelompok dapat dinyatakan berbeda.
Walaupun pada mahasiswa dengan uji-periksa mengalami perbaikan prestasi tetapi kenaikkannya tidak mampu melebihi kemampuan mahasiswa tanpa uji-periksa. Hal ini dapat dipahami karena mahasiswa yang diperlakukan dengan uji-periksa 75% berasal dari SMKTI, sehingga perlakuan uji-periksa hanya mampu menyetarakan dengan mahasiswa tahun akademik sebelum yang sebagian besar berasal dari SMA (55%). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa walaupun rerata hasil pembelajaran dengan uji-periksa kemampuan awal tidak berbeda dengan tanpa uji periksa kemampuan awal, tetapi pembelajaran dengan uji periksan kemampuan awal mampu menyetarakan kemampuan awal mahasiswa dari kedua kelompok tersebut.
F. Simpulan dan Saran
a. Simpulan
- Strategi pembelajaran dengan uji-periksa kemampuan awal tidak lebih efektif dibandingkan dengan tanpa uji-periksa kemampuan awal. Hal ini disebabkan oleh varian awal yang berbeda (Tabel 3). Sehingga walaupun terjadi penambahan rerata pada pembelajaran dengan uji periksa belum mampu melampau kemampuan awal yang memang berbeda.
- Walaupun secara hipotesis rerata strategi pembelajaran dengan uji-periksa tidak berbeda dengan tanpa uji periksa dengan taraf signifikansi 5%, tetapi dengan taraf signifikansi 10% dapat dinyatakan efektif. Keefektifan ini dapat dilihat amtivitas pembelajaran yang dilakukan oleh mahasiswa, dan indikasi lain adalah bahwa pada pembelajaran dengan uji periksa kemampuan mampu menyetarakan kemampuan awal mahasiswa dari kedua kelompok (SMA dan SMK).
b. Saran
1. Kepada mahasiswa yang berasal dari SMKTI perlu belajar lebih dibandingkan dengan mahasiswa yang berasal dari SMA. Dengan belajar seperti seperti ini akan terjadi penyetaraan kemampuan awal, sehingga mereka dapat bersaing dengan rekannya yang berasal dari SMA.
2. Perlu adanya pengelompokkan mahasiswa SMKTI dan SMA) dalam pembelajaran matematika, sehingga asumsi yang digunakan dalam pembelajaran tidak terlalu rendah atau terlalu tinggi. Bila terlalu rendah mahasiswa yang berasal dari SMA akan tidak termotivasi mengikuti perkulian Matematika Teknik I, dan bila terlalu tinggi mahasiswa yang berasal dari SMKI akan kesulitan mengikutinya, sehingga mereka akan merasa tidak mampu untuk mengikutinya. Akibat dari pembelajaran Matematika Teknik I yang kurang baik dapat mengakibatkan mahasiswa akan mengalami kesulitan dalam mengikuti perkualian mata kuliah lain yang memerlukan dasar matematika sebagai konsep dan logika berpikitnya.
3. Untuk melakukan penelitian yang lebih baik, maka pada saat dilakukan uji periksa kemampuan awal kedua kelompok harus dipisahkan; sehingga dapat diketahui seberapa besar pertambahan kemampuan awalnya.
Daftar Pustaka
infodiknas@yahoo.com
Sumber: http://www.infodiknas.com